Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelebaran defisit dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dari 2,48% menjadi 2,68% Produk Domestik Bruto (PDB) menuai sorotan dari kalangan ekonom.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman menilai, langkah tersebut mencerminkan adanya relaksasi disiplin fiskal oleh pemerintah dan Badan Anggaran DPR untuk membuka ruang ekspansi belanja.
Namun, ia mengingatkan bahwa ruang fiskal yang tersedia sejatinya semakin terbatas.
"Akan tetapi, ruang fiskal yang tersisa sebenarnya semakin sempit, karena lebih dari 35% belanja APBN terkunci pada belanja wajib yakni pembayaran bunga utang, subsidi energi, gaji pegawai, dan TKD yang sifatnya tidak fleksibel," ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Kamis (18/9/2025).
Baca Juga: Kemenkeu Beberkan Alasan Kerek Defisit RAPBN 2026 Jadi 2,68%
Menurutnya, tambahan defisit tersebut berisiko hanya menutup rigiditas anggaran, bukan sepenuhnya dialokasikan untuk belanja produktif yang mendorong pertumbuhan.
Ia menekankan, pelebaran defisit juga harus dikaitkan dengan kualitas penerimaan negara. Dengan tax ratio Indonesia yang masih stagnan di kisaran 10% - 11% PDB, jauh di bawah rata-rata negara sebanding, pelebaran defisit tanpa reformasi pajak progresif akan memperberat ketergantungan pada utang.
Implikasinya adalah rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan (interest-to-revenue ratio) bisa menembus level yang lebih berisiko, mempersempit ruang fiskal di tahun-tahun berikutnya.
"Di titik ini, pelebaran defisit memang memberi ruang gerak jangka pendek, tetapi berpotensi memperburuk sustainability fiskal bila orientasi belanja tidak diarahkan pada program yang memiliki multiplier effect tinggi seperti infrastruktur produktif, ketahanan pangan, dan industrialisasi," terang Rizal.
Baca Juga: Defisit RAPBN 2026 Melebar Jadi 2,68%, Menkeu Purbaya: Tidak Bahaya!
Sementara itu, Ekonom Bright Institute Yanuar Rizky menilai keputusan menambah defisit terjadi karena pemerintah memilih sikap pro-growth di tengah keterbatasan fiskal dan kondisi stabilitas yang rentan.
"Itu menunjukkan ruang fiskal sempit, dan upaya mengatasinya dari pajak tidak direspon dengan pengurangan belanja, karena pemerintah pro-growth, disaat stabilitas juga rentan, makanya defisit bertambah," katanya.
Yanuar menyoroti adanya kontradiksi dalam strategi pemerintah. Di satu sisi Menkeu sering menyebut penerbitan SBN membuat kredit perbankan melemah. Tapi di sisi lain, untuk menopang pro-growth, pemerintah justru butuh standing buyer untuk utang baru.
"Jadi harus jelas mau pro-growth atau stabilitas, kalau semua kepengen disaat gejolak volatilitas pasar kan gak rasional," terang Yanuar.
Baca Juga: Defisit RAPBN 2026 Naik Jadi 2,68% PDB, CORE Ingatkan Risikonya
Selanjutnya: Laba Industri Penjaminan Melonjak 14,30% per Juli 2025, Ini Kata Asippindo
Menarik Dibaca: Cara Buat Foto di Lift Pakai Prompt Gemini AI! Ada Kumpulan Prompt Lainnya juga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News