Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
Untuk itu, ke depannya pemerintah akan terus memaksimalkan upaya penajaman, efisiensi, dan reformasi belanja untuk mendorong defisit keseimbangan primer menuju surplus.
"Setelah Covid-19 berakhir, maka strategi tersebut akan dapat dilakukan untuk menjaga sustainabilitas fiskal jangka panjang," kata Askolani.
Namun, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, akan sulit bagi pemerintah dalam memperkecil defisit keseimbangan primer ke arah surplus sementara total utang pemerintah terus meningkat.
Baca Juga: Defisit APBN melebar jadi 6,27%, Sri Mulyani segera ajukan revisi Perpres 54/2020
"Apalagi, outlook rasio pajak (tax ratio) diperkirakan akan mengalami penurunan ke level 6% sampai 7%, dikarenakan adanya pemberian insentif fiskal hingga tahun 2023," ujar Bhima.
Dengan target pembiayaan utang yang diprediksi mencapai Rp 1.633,6 triliun, maka beban bunga utang juga akan meningkat dan membuat defisit keseimbangan primer meningkat bukannya turun.
Seiring dengan hal tersebut, menurut Bhima hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan stimulus fiskal berjalan dengan efektif.
Untuk tahun-tahun berikutnya, Bhima mengatakan akan sulit menggiring defisit keseimbangan primer ke arah surplus apabila tidak ada strategi yang jelas dari pemerintah.
Baca Juga: Imbas corona, pemerintah memperlebar defisit APBN 2020 jadi 6,27%
"Jangan sampai mengulang tahun 2018 di mana total belanja pajak mencapai Rp 221 triliun tapi imbas ke perekonomian tidak signifikan. Dari sisi utang, diharapkan pemerintah tetap melakukan pengendalian bunga, sehingga beban pembayaran bunga di tahun fiskal berikutnya tidak melonjak signifikan," kata Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News