Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah merevisi kembali postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020. Tak hanya potensi penerimaan dan belanja negara, tetapi pemerintah juga turut merevisi tingkat defisit keseimbangan primer.
Adapun potensi defisit APBN 2020 diproyeksikan menjadi 6,27% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau setara dengan Rp 1.028,5 triliun. Sejalan dengan hal tersebut, maka pemerintah juga memproyeksi defisit keseimbangan primer semakin melebar.
Berdasarkan draf kajian Kemenkeu berjudul Skema Pemulihan Ekonomi Nasional yang dikutip Kontan.co.id pada Senin (1/6), pemerintah memperlebar defisit keseimbangan primer menjadi Rp 689,7 triliun.
Baca Juga: Aman Bersama Mitsubishi di Tengah Pandemi Corona
Jumlah ini lebih besar Rp 171,9 triliun dari proyeksi sebelumnya yang tertuang di dalam Perpres 54/2020, yaitu sebesar Rp 517,8 triliun.
Keseimbangan primer adalah selisih dari total penerimaan negara dikurangi dengan belanja negara di luar pembayaran belanja bunga utang. Jika total pendapatan negara lebih besar dari belanja negara di luar pembayaran belanja bunga utang, maka keseimbangan primer dinyatakan dalam kondisi positif.
Artinya, pemerintah memiliki dana yang cukup untuk membayar bunga utang. Namun, apabila total penerimaan negara lebih kecil dari belanja negara di luar pembayaran belanja bunga utang, keseimbangan primer dinyatakan dalam kondisi negatif.
Ini berarti tidak tersedia dana atau anggaran untuk membayar belanja bunga utang, sehingga pemerintah perlu menambahkan utang baru untuk membayar pokok cicilan utang.
Dengan begitu, dapat diartikan bahwa dari pembayaran bunga utang yang direncanakan sebesar Rp 338,8 triliun, semuanya akan dibiayai dari utang baru. Dalam hal ini, dapat dikatakan pemerintah "gali lubang tutup lubang" dalam membayar utang.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, dalam upaya penurunan tingkat defisit ini pemerintah akan terus menggali dan meningkatkan sumber-sumber penerimaan negara secara konsisten dan berkesinambungan.
Baca Juga: Hingga April, defisit APBN 2020 capai Rp 74,5 triliun
"Di sisi lain, pemerintah juga melakukan penajaman, efisiensi, dan reformasi belanja negara agar lebih efektif," ujar Askolani kepada Kontan.co.id, Senin (18/5).
Menurut Askolani, dalam beberapa tahun terakhir strategi tadi terbukti efektif dalam menurunkan defisit APBN secara bertahap agar bisa di bawah 2% dari PDB dan mendorong keseimbangan primer mendekati nol.
Untuk itu, ke depannya pemerintah akan terus memaksimalkan upaya penajaman, efisiensi, dan reformasi belanja untuk mendorong defisit keseimbangan primer menuju surplus.
"Setelah Covid-19 berakhir, maka strategi tersebut akan dapat dilakukan untuk menjaga sustainabilitas fiskal jangka panjang," kata Askolani.
Namun, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, akan sulit bagi pemerintah dalam memperkecil defisit keseimbangan primer ke arah surplus sementara total utang pemerintah terus meningkat.
Baca Juga: Defisit APBN melebar jadi 6,27%, Sri Mulyani segera ajukan revisi Perpres 54/2020
"Apalagi, outlook rasio pajak (tax ratio) diperkirakan akan mengalami penurunan ke level 6% sampai 7%, dikarenakan adanya pemberian insentif fiskal hingga tahun 2023," ujar Bhima.
Dengan target pembiayaan utang yang diprediksi mencapai Rp 1.633,6 triliun, maka beban bunga utang juga akan meningkat dan membuat defisit keseimbangan primer meningkat bukannya turun.
Seiring dengan hal tersebut, menurut Bhima hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan stimulus fiskal berjalan dengan efektif.
Untuk tahun-tahun berikutnya, Bhima mengatakan akan sulit menggiring defisit keseimbangan primer ke arah surplus apabila tidak ada strategi yang jelas dari pemerintah.
Baca Juga: Imbas corona, pemerintah memperlebar defisit APBN 2020 jadi 6,27%
"Jangan sampai mengulang tahun 2018 di mana total belanja pajak mencapai Rp 221 triliun tapi imbas ke perekonomian tidak signifikan. Dari sisi utang, diharapkan pemerintah tetap melakukan pengendalian bunga, sehingga beban pembayaran bunga di tahun fiskal berikutnya tidak melonjak signifikan," kata Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News