Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Kabar gembira untuk menenangkan pasar keuangan tak kunjung datang. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed malah membuat ketidakpastian terus berlanjut dengan menunda lebih jauh rencana kenaikan suku bunga acuannya. Akibatnya, nilai tukar rupiah versi kurs tengah Bank Indonesia (BI) bertengger di posisi Rp 13.324 per dollar AS, Jumat (19/6).
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, nilai tukar rupiah bakal berada dalam kondisi yang perlu terus diwaspadai hingga akhir tahun. Melihat tekanan tersebut, otoritas bank sentral akan menindaklanjuti kerja sama antar bank sentral dalam Bilateral Swap Arrangement (BSA) ataupun dikenal Chiang Mai Initiative.
Tindak lanjut yang dilakukan ialah dengan mengintensifkan komunikasi dengan setiap bank sentral negara anggota BSA. "Kami mulai berkomunikasi dengan institusi itu," terang Agus, Jumat (19/6). Sayangnya, BI masih bungkam apakah akan menambah porsi BSA atau menyasar anggota BSA baru.
Asal tahu saja, Indonesia telah menandatangani sejumlah BSA dengan berbagai negara. Seperti BSA dengan China senilai US$ 15 miliar, Jepang mencapai US$ 22,78 miliar, dan Korea Selatan sebesar US$ 10 miliar. Kerja sama tersebut sebagai bentuk pertahanan terhadap goncangan ekonomi dunia. Ada pula komitmen kerja sama Perjanjian Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) antara Indonesia dan negara kawasan ASEAN dengan China, Jepang serta Korea Selatan.
Komitmen kerja sama CMIM sebesar US$ 120 miliar sempat ditingkatkan menjadi US$ 240 miliar. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat, BI bisa memperluas perjanjian BSA dengan AS dan negara Timur Tengah. Lantaran porsi cadangan devisa mereka cukup besar sehingga sangat potensial. Apalagi politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif perlu dimanfaatkan untuk menjaring BSA lebih luas lagi.
Selain BI, pemerintah juga perlu berperan aktif untuk mengantisipasi tekanan. Mengingat arus modal keluar sulit dicegah dan capital control juga sulit dilakukan. Karena itu, pemerintah harus mengimbangi potensi tekanan tersebut dengan menarik investasi langsung (FDI). "Kalau FDI masuk, Neraca Pembayaran masih aman," paparnya. Pemerintah juga harus bisa merealisasikan belanja infrastrukturnya, mereformasi birokrasi, memperpendek perijinan investasi demi menunjang pertumbuhan ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News