Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Isu perubahan iklim kini menjadi permasalahan global, di mana setiap negara diminta berkontribusi dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca. Dunia pun melirik Indonesia sebagai negara yang memiliki ekosistem gambut terbesar keempat dan mangrove terluas di dunia.
Pasalnya, ekosistem gambut dan mangrove berperan penting dalam pengendalian perubahan iklim dunia. "Lahan basah merupakan ‘tempat parkir’ air tawar, misal kalau luas gambut 20 hektare dengan kedalaman 5 meter saja, artinya ada 1 triliun kubik air tawar di lahan gambut kita. Sedangkan 3,31 juta hektare mangrove akan menjadi ‘tempat parkir’ karbon,” ungkap Penasehat Senior Yayasan Lahan Basah, I Nyoman Suryadiputra.
Lebih lanjut dirinya menambahkan, jika mangrove hancur maka air laut akan naik. Demikian juga jika terlalu banyak kanal di lahan gambut maka dapat menyebabkan gambut mudah terbakar.
Guna mencegah hal tersebut terjadi, Kasubdit Adaptasi Ekologi Alami, Direktorat Adaptasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Nuraeni menyebut ada dua aksi nyata yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim yaitu mitigasi dan adaptasi.
Baca Juga: ADB dan PLN membuat kesepakatan menuju energi bersih di Indonesia
Mitigasi dilakukan dalam rangka mengurangi emisi, contohnya ekosistem potensial gambut dan mangrove yang bisa berperan dalam pengurangan gas emisi Gas Rumah Kaca. Sementara adaptasi adalah upaya untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim agar potensi kerusakan berkurang, peluang yang ditimbulkan bisa dimanfaatkan, serta konsekuensi yang ditimbulkan akibat perubahan iklim bisa teratasi.
“Perubahan iklim jelas berdampak pada kehidupan, pemerintah dalam hal ini kami dari KLHK sudah mencoba identifikasi modalitas atau support system untuk memastikan komitmen kita bisa tercapai. Kita sudah mencoba menyediakan roadmap, peta jalan untuk adaptasi perubahan iklim sebagai pelengkap dokumen Nationally Determined Contribution (NDC),” ungkap Nuraeni.
Sementara itu, agar komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan internasional di tahun 2030 dapat tercapai, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menerapkan strategi 3R yaitu rewetting, revegetation dan revitalization.
“R1 seperti bikin sumur, timbun kanalnya, kita bikin sekat kanalnya, R2 revegetasi, kemudian R3 adalah revitalisasi ekonomi. Jadi BRGM tidak hanya bekerja untuk pengendalian iklim, tapi restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove ini juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ini sangat penting,” ungkap Didy Wurjanto, Kepala Kelompok Kerja Kerjasama Hukum dan Hubungan Masyarakat BRGM.
Baca Juga: COP26 Glasgow, Jokowi sampaikan komitmen Indonesia dalam penanganan perubahan iklim
Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, BRGM melibatkan langsung masyarakat lokal agar masyarakat bisa merasakan secara langsung manfaatnya, termasuk dalam peningkatan ekonomi.
“Kita kerjasama dengan masyarakat lokal karena mereka tahu persis kondisi di lapangannya. Kita sudah membangun 17 ribu Infrastruktur Pembasahan Gambut (IPG), 5.000 sekat kanal. BRGM sudah rehabilitasi ratusan hektare ekosistem mangrove. Paket -paket revitalisasi ekonomi juga sudah diberikan, kita kembangkan bersama masyarakat,” pungkas Didy.
Melalui upaya-upaya tersebut, maka BRGM optimis jika komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim di tahun 2030 dapat tercapai.
Selanjutnya: COP26 Glasgow, Jokowi sampaikan komitmen Indonesia dalam penanganan perubahan iklim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













