kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.915.000   44.000   2,35%
  • USD/IDR 16.400   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.142   47,86   0,67%
  • KOMPAS100 1.041   10,44   1,01%
  • LQ45 812   9,62   1,20%
  • ISSI 224   0,88   0,39%
  • IDX30 424   4,46   1,06%
  • IDXHIDIV20 504   1,88   0,37%
  • IDX80 117   1,34   1,15%
  • IDXV30 119   0,16   0,14%
  • IDXQ30 139   1,43   1,04%

APBN 2025 Tak Diubah, Namun Risiko Pelebaran Defisit Meningkat


Rabu, 21 Mei 2025 / 13:30 WIB
APBN 2025 Tak Diubah, Namun Risiko Pelebaran Defisit Meningkat
ILUSTRASI. Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (8/7/2024). Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa sejumlah asumsi makro APBN 2025 tidak lagi selaras dengan perkembangan terbaru.


Reporter: Indra Khairuman | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski sejumlah indikator makroekonomi menunjukkan potensi meleset dari asumsi, pemerintah tetap tidak berencana merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Namun, risiko pelebaran defisit fiskal dan tekanan terhadap kebijakan anggaran mulai mengemuka.*

Komisi XI DPR memastikan tidak akan ada perubahan postur APBN 2025. Namun, sinyal deviasi terhadap beberapa asumsi dasar, seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, dan harga komoditas, berpotensi memengaruhi efektivitas fiskal.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa sejumlah asumsi makro APBN 2025 tidak lagi selaras dengan perkembangan terbaru. Ia mencontohkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% yang mulai diragukan tercapai.

Baca Juga: Sri Mulyani Sumringah, Defisit APBN 2024 Lebih Rendah dari Outlook

“IMF dan Bank Dunia telah memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia tahun 2025 menjadi 4,8% dari sebelumnya 5,1%. Ditambah, realisasi kuartal I-2025 hanya mencapai 4,87%,” ujar Josua kepada Kontan.co.id, Selasa (20/5).

Josua memperkirakan pertumbuhan ekonomi yang realistis akan berada di kisaran 4,7%–5%.

Pelemahan nilai tukar rupiah menjadi sorotan utama. Pemerintah menargetkan rata-rata kurs Rp 16.000 per dolar AS, namun hingga 19 Mei 2025 realisasi kurs mencapai Rp 16.452 per dolar AS.

“Nilai tukar menunjukkan tren depresiatif akibat penguatan dolar AS dan meningkatnya sentimen risiko global,” jelas Josua. Ia memperkirakan rupiah akan tetap terdepresiasi hingga akhir tahun di kisaran Rp16.430 per dolar AS.

Sementara itu, inflasi hingga April 2025 tercatat hanya 1,95% secara tahunan, lebih rendah dari target 2,5%. Menurut Josua, ini mencerminkan tekanan disinflasi, yang justru dapat menekan konsumsi masyarakat ke depan.

Baca Juga: Hingga Akhir Maret 2025, APBN Sudah Mencetak Defisit Sebesar Rp 104 Triliun

Selain itu, harga minyak mentah dunia juga jauh di bawah asumsi APBN. Target pemerintah sebesar US$ 82 per barel belum tercapai, dengan realisasi per April hanya US$ 71,1 per barel.

“Tren penurunan harga dipicu oleh lemahnya permintaan global dan ketidakpastian geopolitik,” terang Josua. Ini akan berdampak negatif terhadap pendapatan negara dari sektor migas.

Lifting minyak dan gas pun belum mencapai target. Pemerintah menargetkan lifting minyak sebesar 605 ribu barel per hari, namun realisasi hingga Maret baru 573,9 ribu barel. Lifting gas juga masih di bawah ekspektasi.

Pendapatan negara juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Dari target Rp 3.005,1 triliun, hingga Maret 2025 baru terkumpul Rp 515,1 triliun atau 17,2%.

“Jika tren ini berlanjut, risiko shortfall pendapatan akan cukup signifikan, apalagi jika harga komoditas dan pertumbuhan ekonomi melemah,” tegas Josua.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Lesu, Defisit APBN 2025 Diramal Lampaui Batas Aman

Di sisi belanja, meski realisasi Rp 620,3 triliun (17,1% dari target Rp3.621,3 triliun) masih sejalan, ancaman tekanan tambahan tetap membayangi.

“Kebutuhan tambahan seperti subsidi pangan, stimulus ekonomi, hingga program makan bergizi gratis yang diusung Presiden terpilih Prabowo, berpotensi mendorong belanja melebihi pagu jika tidak dikendalikan,” ujarnya.

Dengan berbagai tekanan tersebut, Josua memproyeksikan defisit APBN berisiko melebar dari target 2,48%–2,53% PDB menjadi sekitar 2,75% PDB. Meski masih dalam batas aman, hal ini akan menyempitkan ruang fiskal.

Realisasi pembiayaan hingga Maret sudah mencapai Rp250 triliun atau 40,6% dari target Rp616,2 triliun. Menurut Josua, ini menandakan adanya tekanan likuiditas dan kebutuhan untuk front-loading penerbitan utang.

Baca Juga: Serapan Belanja Pemerintah pada April Rendah, Ekonom: Defisit Anggaran Bisa Melebar

“Jika defisit terus melebar, kebutuhan utang akan meningkat. Namun, situasi diperumit oleh naiknya yield SBN dan pelemahan rupiah yang bisa menambah beban utang luar negeri,” pungkasnya.

Selanjutnya: Jual Terlalu Cepat, Jerman Rugi Potensial Lebih dari US$2 Miliar dari Bitcoin

Menarik Dibaca: Berapa Uang yang Harus Disimpan di Usia 30 Tahun? Ini Patokan & Cara Mengejarnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Digital Marketing for Business Growth 2025 : Menguasai AI dan Automation dalam Digital Marketing

[X]
×