Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Presiden Prabowo Subianto telah menyampaikan Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 kepada DPR.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menilai postur dan asumsi makro yang diajukan pemerintah kali ini cenderung moderat dan realistis, mengingat tantangan ekonomi tahun depan yang tidak ringan.
Dalam RAPBN 2026, pertumbuhan ekonomi dipatok sebesar 5,4%, inflasi 2,5%, yield Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun 6,9%, dan nilai tukar rupiah Rp16.500 per dolar AS.
Pemerintah juga menetapkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar 70 dolar AS per barel, lifting minyak bumi 610 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi 984 ribu barel setara minyak per hari.
Baca Juga: Banggar DPR Rekomendasikan Berbagai Kebijakan untuk Tingkatkan Pendapatan Negara 2026
Menurut Said, angka-angka ini berada di titik tengah dari batas bawah dan atas yang telah disepakati antara Banggar dan pemerintah dalam pembahasan Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) sebelumnya.
Pilihan ini dinilai mencerminkan sikap realistis di tengah potensi tekanan akibat tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump, eskalasi konflik geopolitik, melemahnya daya beli rumah tangga, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur.
"Pilihan angka moderat ini menunjukkan pemerintah realistis dalam menghitung tantangan tahun 2026 yang tidak mudah, akibat dampak pemberlakuan tarif dari Presiden Trump, efek rambatan konflik gepolitik, menurunnya daya beli rumah tangga, serta banyaknya lay off pada sektor manufaktur," ujar Said dalam keterangannya, Jumat (15/8).
Untuk pendapatan negara, pemerintah menargetkan Rp 3.147,7 triliun, memilih batas atas dari pembicaraan KEM-PPKF.
Sementara belanja negara direncanakan Rp 3.786,5 triliun, berada di kisaran tengah dari proyeksi awal. Dengan komposisi ini, defisit anggaran diproyeksikan sebesar 2,48% PDB atau sekitar Rp 638,8 triliun, lebih rendah dibandingkan tahun 2025.
Said mendukung target pendapatan yang ambisius, tetapi mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam kebijakan perpajakan.
Ia menyoroti meningkatnya sentimen negatif masyarakat terhadap kenaikan signifikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah.
"Pemerintah hendaknya hati hati dan menimbang ulang jika menempuh kebijakan perluasan perpajakan, atau menaikkan tarif perpajakan untuk menguber target pendapatan," katanya.
Baca Juga: Program 3 Juta Rumah, Prabowo Bakal Bangun 770.000 Rumah dari APBN 2026
Ia merekomendasikan pemerintah lebih fokus mengejar wajib pajak yang menghindari kewajiban, memanfaatkan peluang pajak global pasca kesepakatan OECD, mengoptimalkan pajak karbon, serta mendorong investasi di sektor sumber daya alam.
Dari sisi belanja, pemerintah mengalokasikan Rp 3.136,5 triliun untuk belanja pusat, naik Rp 435,1 triliun dibandingkan APBN 2025.
Sementara itu transfer ke daerah dan desa turun drastis menjadi Rp 650 triliun dari Rp 919,9 triliun.
Said menilai tren sentralisasi anggaran ini berpotensi melemahkan fiskal daerah, apalagi kewenangan pemerintah daerah juga berkurang setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
"Situasi ini membuat fiskal daerah akan semakin melemah, sehingga inisiatif pembangunan di daerah hanya akan bertumpu pada anggaran pusat," pungkasnya.
Selanjutnya: 3 Strategi Tangkap Peluang Usaha di Pulau Bali
Menarik Dibaca: 3 Strategi Tangkap Peluang Usaha di Pulau Bali
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News