Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman menilai surplus APBN April 2025 sebesar Rp 4,3 triliun bukan sinyal penguatan fiskal, namun justru menimbulkan potensi defisit yang melebar pada kuartal II-2025, karena belanja negara kemungkinan menumpuk di akhir paruh petama tahun ini (semester I).
Menurutnya tren serapan anggaran masih rendah seperti hingga April yang baru mencapai 22,3% dari target tahunan, disertai lemahnya pertumbuhan penerimaan, sehingga APBN sangat mungkin kembali mencatat defisit pada Mei atau Juni.
"Belanja negara yang cenderung menumpuk pada akhir semester pertama justru akan memperlebar gap fiskal apabila tidak diimbangi dengan akselerasi pendapatan," ungkap Rizal kepada Kontan, Selasa (20/5).
Baca Juga: Berbalik Arah, Sri Mulyani Sebut APBN April 2025 Mulai Surplus Rp 4,3 Triliun
Sehingga Rizal memproyeksikan realisasi APBN kuartal II masih dibayangi oleh risiko tekanan defisit, terutama jika sistem administrasi perpajakan seperti Coretax belum mampu mengatasi kendala teknis yang ada.
Di sisi lain, meskipun secara nominal surplus tersebut menjadi titik balik dari tren defisit sejak awal tahun, namun hal ini menurutnya sangat mungkin didorong oleh faktor musiman, seperti peningkatan konsumsi saat Ramadan dan Lebaran, bukan karena perbaikan struktural dalam sistem penerimaan negara.
"Mengingat bahwa penerimaan pajak masih mengalami kontraksi tajam sebesar 27,73% yoy, maka keberlanjutan surplus hingga akhir kuartal II masih patut dipertanyakan. Surplus sementara ini lebih mencerminkan ketidaksinkronan antara realisasi pendapatan dan belanja, bukan sinyal konsolidasi fiskal yang kuat," ungkap Rizal kepada Kontan, Selasa (20/5).
Baca Juga: Indonesia Catat Surplus Perdagangan dengan Korsel US$ 457,3 Juta pada Kuartal I-2025
Adapun dalam upaya menjaga keseimbangan fiskal, Rizal menilai masih terdapat dilema antara stimulasi konsumsi dan ketahanan penerimaan. Menurutnya dorongan untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga melalui belanja negara tentu relevan dalam konteks menjaga pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam situasi di mana sistem perpajakan nasional masih menghadapi kendala struktural, termasuk implementasi digitalisasi perpajakan yang belum optimal, kebijakan fiskal perlu lebih berhati-hati.
"Untuk itu, ketidakseimbangan antara ekspansi belanja dan stagnasi penerimaan akan memperburuk risiko fiskal dalam jangka menengah," ungkap Rizal
Rizal melanjutkan, pemerintah perlu merancang strategi penyeimbangan yang memprioritaskan efisiensi belanja, optimalisasi pemanfaatan SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran), serta percepatan reformasi perpajakan agar konsolidasi fiskal tetap terjaga tanpa mengorbankan stimulus ekonomi.
Baca Juga: Banyak Kepala Negara Mengeluh Masalah Pangan, Wapres Gibran: Kita Surplus
Sebagai informasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut terjadi surplus APBN sebesar Rp 4,3 triliun pada April 2025, dengan porsi penerimaan dan belanja mencapai 27% dan 22,3% dari target tahunan. Capaian ini merupakan arah balik dari deficit APBN yang selama ini terjadi tiga bulan berturut sejak awal tahun.
Ia menyebut, surplus ini dikarenakan pendapatan negara lebih besar dibandingkan belanja negara. Tercatat, pendapatan negara hingga April 2025 mencapai Rp 810,5 triliun atau 27% dari target. Sementara itu, belanja negara sudah terealisasi sebesar Rp 806,2 triliun atau 22,3% dari target.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News