kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Apa itu cessie yang sering disebut-sebut dalam kasus penangkapan Djoko Tjandra?


Jumat, 31 Juli 2020 / 09:05 WIB
Apa itu cessie yang sering disebut-sebut dalam kasus penangkapan Djoko Tjandra?
ILUSTRASI. Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra tiba di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (30/7/2020).


Penulis: Virdita Ratriani

KONTAN.CO.ID - Buronan kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko S Tjandra akhirnya ditangkap Bareskrim Polri, Kamis (30/7).

Pria yang juga bernama Tjan Kok Hui itu ditangkap oleh Polri, dengan dukungan Polis Diraja Malaysia, di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (30/7/2020). 

Djoko Tjandra kembali ke Indonesia untuk diadili terkait kasus pengalihan hak tagih (cessie) antara PT Era Giat Prima (EGP) miliknya dengan Bank Bali pada Januari 1999.

Kasus yang membelitnya itu berawal saat Djoko Tjandra membuat perjanjian yang ditujukan untuk mencairkan piutang Bank Bali pada tiga bank (Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Bira) senilai Rp 3 triliun.

Lantas apa itu cessie, hak tagih, dan bagaimana kronologi kasus Djoko Tjandra?

Baca Juga: Bareskrim Polri tetapkan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking tersangka

Apa arti cessie?

Dikutip dari laman resmi DJKN Kementerian Keuangan, cessie adalah pengalihan hak atas kebendaan bergerak tak berwujud (intangible goods) yang biasanya berupa piutang atas nama kepada pihak ketiga.

Secara singkat, cessie adalah penggantian orang yang berpiutang lama dengan seseorang berpiutang baru. 

Sebagai contoh, misalnya A (bank/Kreditur) mempunyai piutang kepada B (debitur), tetapi A (bank/kreditur) menyerahkan piutangnya itu kepada C dengan cara mengalihkan/menjual piutang tersebut kepada C. 

Maka si C-lah yang berhak atas piutang yang ada pada B. C adalah kreditur baru sedangkan B adalah debiturnya.

Hak tagih (piutang) dapat dialihkan kepada pihak kreditur baru, yang mana pengalihan tersebut lazim dilakukan dengan cara cessie sesuai pasal 613 KUHPerdata. 

Sejauh praktik hukum di masyarakat, cessie dilakukan dengan akta otentik (notaris) atau di bawah tangan. 

Baca Juga: Buronan 11 Tahun Djoko Tjandra Akhirnya Tertangkap di Malaysia

Hak tagih

Hak tagih muncul karena perjanjian utang piutang. 

Di dalam Pasal 1721 KUH Perdata, arti utang piutang disamakan dengan perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian kredit. Dalam perjanjian kredit, seorang kreditur akan mempunyai hak tagih terhadap debiturnya.

Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan definisi piutang (hak tagih) sebagai hak untuk menerima pembayaran. Hak tagih dapat diagunkan dengan ikatan jaminan fidusia.

Pasal 9 ayat (1) menerangkan, jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.

Baca Juga: Djoko Tjandra ditangkap, ini kronologis lengkap skandal cessie Bank Bali

Kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra

Dikutip dari Kontan, Sabtu (18/7/2020), kasus cessie Bank Bali bermula pada 1997 saat Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya total Rp 3 triliun di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara. 

Hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair. 

Di tengah keputusasaannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (EGP) di mana Djoko Tjandra menjabat direktur dan Setya Novanto yang saat itu Bendahara Partai Golkar sebagai direktur utamanya. 

Januari 1999, antara Rudy Ramli dan Era Giat menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih. Disebutkan, Era Giat bakal menerima fee yang besarnya setengah dari uang yang dapat ditagih.

Bank Indonesia (BI) dan BPPN akhirnya setuju mengucurkan duit Bank Bali itu. Jumlahnya Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60% atau Rp 546 miliar, masuk rekening Era Giat.

Baca Juga: Penangkapan Djoko Tjandra dari Malaysia hingga tiba di Indonesia

Konon, kekuatan politik turut andil mengegolkan proyek ini. Saat itu sejumlah tokoh politikus disebut-sebut terlibat untuk ”membolak-balik” aturan dengan tujuan proyek pengucuran duit itu berhasil. 

Isu ini terus menggelinding bak bola liar, setelah pakar hukum perbankan Pradjoto angkat bicara. Pradjoto mencium skandal cessie ini berkaitan erat dengan pengumpulan dana untuk politik. 

Perlahan-lahan, kejanggalan itu mulai terkuak. Cessie itu, misalnya, tak diketahui BPPN, padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. 

Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan Era Giat.

Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf sadar akan kejanggalan cessie Bank Bali dan kemudian membatalkan perjanjian cessie

Mulai saat itu, penyelidikan dimulai. Setya Novanto lalu menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. 

Walau tetap menang di tingkat banding, Mahkamah Agung (MA), melalui putusan kasasinya pada November 2004, memenangkan BPPN. 

Baca Juga: Polri: Djoko Tjandra ditangkap di Malaysia

Tak cukup di situ, Era Giat juga membawa kasus ini ke ranah perdata dengan menggugat Bank Bali dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan Era Giat berhak atas dana lebih dari setengah triliun rupiah itu. 

Kasus ini terus bergulir ke tingkat selanjutnya. Melalui putusan kasasinya, Mahkamah Agung memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat peninjauan kembali, putusan itu tetap sama: duit itu hak Bank Bali.

Di saat bersamaan, Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan sejumlah tersangka, antara lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng (Menteri Pendayagunaan BUMN). 

Mereka dituding telah melakukan korupsi yang merugikan kantong negara. Kejaksaan menyita dana Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali. 

Dari kesekian banyak tersangka, akhirnya hanya tiga orang yang diadili yaitu Djoko Tjandra, Syahril, dan Pande Lubis. Pande Lubis dihukum empat tahun penjara atas putusan MA tahun 2004. 

Adapun Syahril Sabirin, kendati pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun, belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu.

Sementara Djoko Tjandra hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi, lagi-lagi Djoko dinyatakan bebas.

Baca Juga: Djoko Tjandra ditangkap!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×