Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja penerimaan pajak kurang menggembirakan. Secara keseluruhan, Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat pendapatan pajak dalam negeri hanya tumbuh 1,8% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 248,98 triliun.
Padahal, periode yang sama tahun lalu, pertumbuhan pajak dalam negeri mencapai 9,9% yoy.
Ditinjau dari segi sektoral, penerimaan sektor industri pengolahan dan pertambangan mengalami penurunan per akhir Maret.
Penerimaan pajak dari industri pengolahan mencapai Rp 60,43 triliun, turun 8,8% yoy. Periode yang sama tahun lalu, sektor ini mencatat pertumbuhan 20,2%. Adapun, industri pengolahan merupakan sektor dengan kontribusi pajak terbesar yaitu mencapai 32,1%.
Sementara, sektor pertambangan mencatat penerimaan pajak sebesar Rp 9,99 triliun, turun 16,2% yoy. Penerimaan pajak dari sektor pertambangan merosot tajam jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang mampu tumbuh 69,4% yoy.
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menjelaskan, sektor industri pengolahan dan pertambangan merupakan sektor yang paling besar mengalami restitusi pajak sehingga pertumbuhan penerimaan kedua sektor tersebut mengalami distorsi hingga Maret.
Di sektor industri pengolahan, pertumbuhan restitusi pajak melonjak 60,6%, ditambah faktor adanya pembayaran PPN BBM bersubsidi yang tak sebesar kuartal-I 2018 lalu. Robert menyebut, secara bruto, penerimaan sektor industri pengolahan sebenarnya masih tumbuh 5,08% yoy.
Di sektor pertambangan, Kemkeu mencatat terjadi peningkatan restitusi pajak 43,5%. Penurunan penerimaan pajak di sektor pertambangan juga sejalan dengan penguatan kurs rupiah serta harga komoditas yang melandai dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Secara bruto, industri pertambangan mencatat pertumbuhan 4,52% yoy.
"Ini faktor restitusi, tapi denyut ekonomi masih oke. Beda ceritanya kalau penurunan ini karena yang membayar secara umum berhenti, tapi ini kan enggak begitu, baseline masih ada," tutur Robert, Senin (22/4).
Penerimaan pajak sektor perdagangan tumbuh melambat hanya 1,3% yoy dengan nilai Rp 53,55 triliun. Sektor yang berkontribusi sebesar 28,4% terhadap penerimaan pajak ini tumbuh jauh lebih tinggi di periode yang sama tahun lalu mencapai 28% yoy.
Sektor konstruksi dan real estat mencatat penerimaan Rp 16,89 triliun atau tumbuh 6,1%. Sementara, hanya dua sektor yang membukukan pertumbuhan lebih baik dari tahun lalu yaitu sektor jasa keuangan dan sektor transportasi dan pergudangan dengan penerimaan masing-masing sebesar Rp 32,41 triliun dan Rp 11,78 triliun.
Sektor jasa keuangan dan sektor transportasi dan pergudangan masing-masing tumbuh 11,3% yoy dan 24% yoy sepanjang kuartal pertama lalu.
Kendati pertumbuhan penerimaan pajak sektoral mengalami penurunan, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara menegaskan ini bukan sepenuhnya tanda adanya pelemahan aktivitas perekonomian.
Hal ini, menurutnya, tampak dari Purchasing Manager's Index (PMI) yang menunjukkan perbaikan kondisi industri manufaktur di mana indeks naik ke level 51,2 pada Maret lalu. Indeks tersebut membaik dibandingkan Januari dan Februari dengan indeks masing-masing 49,9 dan 50,1.
"Perbaikan indeks PMI mengindikasikan perusahaan mulai melakukan pembelian barang input dan siap melakukan proses produksi," kata Suahasil.
Kebijakan restitusi yang menjadi penyebab turunnya penerimaan, kata dia, juga merupakan bagian dari upaya pemerintah menopang dunia usaha. Semakin cepat uang yang menjadi hak wajib pajak kembali, dunia usaha bisa semakin percaya diri dan fleksibel untuk melakukan berbagai penyesuaian dengan kondisi ekonomi saat ini, baik di dalam negeri maupun kondisi secara global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News