Reporter: Leni Wandira | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Pekerjaan rumah di bidang ekonomi menanti calon presiden (capres) terpilih 2024. Pilpres 2024 sendiri resmi digelar, Rabu (14/2) kemudian hasil pilpres versi KPU secara resmi akan diumumkan pada hari Rabu (20/3).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan beberapa tugas pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi bisa di level 6%-7%.
Kata dia, tugas utama pemerintah baru adalah menciptakan transisi ke ekonomi hijau melalui pengembangan ekosistem industri komponen energi terbarukan.
Tentunya, pengembangan itu perlu dilakukan jika ingin pertumbuhan yang lebih tinggi dari tahun 2023 yakni sebesar 5,05%.
Baca Juga: Targetkan Ekonomi Tumbuh Hingga 7%, Prabowo-Gibran Harus Lakukan Ini
"Jika ingin pertumbuhan ekonomi naik kuncinya adalah menciptakan transisi ke ekonomi hijau melalui pengembangan ekosistem industri komponen energi terbarukan, daur ulang sampah, investasi hijau didorong, dan disiapkan transisi pekerjanya," ungkap Bhima kepada KONTAN, Rabu (20/3).
Menurut Bhima, hal itu adalah strategi yang quick win karena peluang dari ekonomi hijau 5 tahun mendatang makin besar sejalan dengan ambisi berbagai negara mitra dagang dan asal investasi Indonesia mencapai nol emisi karbon di 2050.
Kemudian, paralel fokus program yang menyasar dua sektor paling penting dari kontribusi ke Produk Domestik Bruto (PDB) yakni pertanian dan industri pengolahan.
"Sektor pertaniannya harus didorong, nilai tambahnya dinaikkan lewat dukungan pembiayaan murah, keterkaitan rantai pasok ke industri dan belanja riset yang naik," ungkapnya.
Baca Juga: Langkah Ciputra (CTRA) Menerapkan ESG di Berbagai Proyek
Sementara sektor industri manufakturnya harus lebih naik porsinya. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6%-7% kuncinya porsi manufaktur wajib di atas 25% dari PDB.
Infrastruktur harus berkorelasi dengan daya saing sektor industri terutama penurunan biaya logistik. Ia juga menyoroti perihal penanganan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang menjadi fokus untuk dibenahi.
"Sekarang kan era ESG (Environmental, social, and governance), tata kelola menjadi perhatian penting pemilihan negara tujuan investasi. Kalau birokrasinya makin bersih maka dipersepsikan biaya berusaha lebih murah, semua senang," tambahnya.
Kemudian, ia juga mengatakan beberapa langkah dalam mengantisipasi potensi tekanan dari gejolak pasar global yakni dengan manfaatkan friendshoring atau upaya bilateral antar negara karena Indonesia berada di garis non blok.
Baca Juga: Pacu Keberlanjutan Industri, Indonesia Luncurkan Program Eco-Industrial Park
"Misalnya dengan AS yang mulai menarik investasi dari China bisa dimanfaatkan di bidang pemasok buah buahan tropis, hasil ikan dan pakaian jadi Indonesia bisa dapat prioritas utama replacement dari China," ungkapnya.
Solusi berikutnya, pemerintah baru wajib melakukan diversifikasi ekspor ke negara negara yang ekonominya masih relatif baik. "Contohnya penetrasi ekspor ke India perlu didorong lewat serangkaian kerjasama bilateral," sambungnya.
Bhima juga menyoroti ikhwal belanja negara yang populis seperti program makan siang gratis itu harus hati hati dalam manajemen risiko fiskalnya.
Baca Juga: Lonjakan Harga Pangan di Bulan Ramadan Dikhawatirkan Hambat Pertumbuhan Ekonomi
"Sebaiknya program seperti makan siang gratis di uji coba dulu dengan anggaran maksimum Rp 5 triliun pada 2 tahun pertama Prabowo menjabat. Karena situasi pendapatan negara juga tidak berlimpah, begitu juga cari utang baru tidak gampang dengan situasi global yang meredup," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News