Reporter: Leni Wandira | Editor: Noverius Laoli
Infrastruktur harus berkorelasi dengan daya saing sektor industri terutama penurunan biaya logistik. Ia juga menyoroti perihal penanganan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang menjadi fokus untuk dibenahi.
"Sekarang kan era ESG (Environmental, social, and governance), tata kelola menjadi perhatian penting pemilihan negara tujuan investasi. Kalau birokrasinya makin bersih maka dipersepsikan biaya berusaha lebih murah, semua senang," tambahnya.
Kemudian, ia juga mengatakan beberapa langkah dalam mengantisipasi potensi tekanan dari gejolak pasar global yakni dengan manfaatkan friendshoring atau upaya bilateral antar negara karena Indonesia berada di garis non blok.
Baca Juga: Pacu Keberlanjutan Industri, Indonesia Luncurkan Program Eco-Industrial Park
"Misalnya dengan AS yang mulai menarik investasi dari China bisa dimanfaatkan di bidang pemasok buah buahan tropis, hasil ikan dan pakaian jadi Indonesia bisa dapat prioritas utama replacement dari China," ungkapnya.
Solusi berikutnya, pemerintah baru wajib melakukan diversifikasi ekspor ke negara negara yang ekonominya masih relatif baik. "Contohnya penetrasi ekspor ke India perlu didorong lewat serangkaian kerjasama bilateral," sambungnya.
Bhima juga menyoroti ikhwal belanja negara yang populis seperti program makan siang gratis itu harus hati hati dalam manajemen risiko fiskalnya.
Baca Juga: Lonjakan Harga Pangan di Bulan Ramadan Dikhawatirkan Hambat Pertumbuhan Ekonomi
"Sebaiknya program seperti makan siang gratis di uji coba dulu dengan anggaran maksimum Rp 5 triliun pada 2 tahun pertama Prabowo menjabat. Karena situasi pendapatan negara juga tidak berlimpah, begitu juga cari utang baru tidak gampang dengan situasi global yang meredup," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News