Sumber: TribunNews.com | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tidak bisa pulang ke tanah air disebabkan maraknya praktik perdagangan manusia berkedok pengiriman TKI. Para TKI yang tidak berdokumen resmi atau ilegal itu menjadi korban karena ditempatkan penyalur swasta ke negara yang tidak memiliki hubungan kerja sama ketenagakerjaan dengan Indonesaia.
"Contoh di Mesir itu ada 2.800 orang, semuanya illegal. Dulunya ada di Arab Saudi dan di Dubai dikirim ke sana. Ini masuk kategori internasional crime, tindak pidana perdagangan orang," ujar Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Senin (12/1/2015).
Nusron mengatakan tingginya pengiriman TKI baik legal dan ilegal itu karena harga pembantu di negara-negara tersebut sangat mahal. Harga tersebut bisa mencapai 5.000-6.000 dollar Amerika atau setara Rp 50-60 juta.
Nasib TKI semakin buruk lantaran di Timur Tengah mengenal sistem kafalat atau hak penguasaan atas pembantu. TKI yang sudah 'dikuasi' majikan tidak bisa pulang ke tanah air dan tertahan di imigrasi jika belum mendapat persetujuan dari kafil atau pemilik hak kafalat. Parahnya lagi, hak tersebut bisa diwariskan kepada anak atau istri jika si kafil meninggal dunia, atau bahkan bisa diperjualbelikan secara bebas.
Selain dilakukan pihak swasta, Nusron mengakui ada oknum BNP2TKI yang terlibat dalam pengiriman tersebut. Nusron pun mencontohkan, sebuah perwakilan negara tertentu mengatakan kepada dia telah mengeluarkan 90.000 visa untuk TKI. Padahal, kata dia, pihaknya hanya mendata 82.000.
"Delapan ribu itu dimana? kan nggak mungkin orang itu akan mengurus visa kalau dokumen lengkap? berarti dia memalsukan dokumen. Bisa memang swastanya memalsukan stempel BNP2TKI, bisa kedua adalah memang ada oknum kami jualan stempel. Ini akan kita usut," tegas Nusron. Sekedar informasi, terdapat sekitar 1,8 juta TKI over stay nasibnya di luar negeri tidak jelas.(Eri Komar Sinaga)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News