Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai bahwa pemerintahan Prabowo Subianto akan menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan pada tahun 2026.
Ia menyebut, persoalan daya beli masyarakat yang masih lemah, deindustrialisasi, tren pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga kapasitas utang negara yang sudah terbatas sebagai hambatan serius bagi pertumbuhan ekonomi di tahun depan.
"Daya beli rakyat yang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan serta deindustrilaisasi yang terus terjadi semakin menggerus supply lapangan kerja berkualitas dan basis pajak," ujar Wijayanto kepada Kontan.co.id, Minggu (17/8/2025).
Baca Juga: Danantara Kejar Investasi Rp 720 Triliun, Sokong Pertumbuhan Ekonomi 5,4% pada 2026
Dari sisi fiskal, Wijayanto mengingatkan bahwa target pendapatan negara Rp 3.177 triliun dalam RAPBN 2026 sangat ambisius.
Untuk mencapainya, pemerintah harus mengerek rasio pajak ke 10,5%, padahal realisasi tahun 2024 hanya 10,07% dan tahun ini diperkirakan turun ke 9,5%.
Menurutnya, jika pendapatan negara tak tercapai, maka pemerintah perlu mengurangi belanja untuk memastikan defisit kurang dari 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Artinya, ini akan membuat daya dukung APBN bagi pertumbuhan ekonomi kurang optimal," katanya.
Di sisi lain, Wijayanto menyebut ada tiga hambatan utama dari sisi fiskal bagi Presiden Prabowo Subianto. Pertama, potensi penerimaan negara yang rendah.
Kedua, turunnya alokasi transfer ke daerah dari 3,77% (APBN 2025) menjadi hanya 2,8–2,9% dalam Nota Keuangan 2026.
Kondisi ini, lanjutnya, bisa mendorong pemerintah daerah makin agresif mencari pendapatan tambahan. “Harus diantisipasi fenomena seperti di Pati akan berpotensi muncul dibanyak tempat,” terang Wijayanto.
Baca Juga: Prabowo Targetkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Capai 5,4% pada 2026
Ketiga, alokasi anggaran besar untuk program strategis pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan 3 juta rumah, dan 80.000 koperasi desa modern produktif (Kopdes MP).
Wijayanto menilai program-program tersebut menyedot anggaran terlalu besar sehingga ruang fiskal APBN semakin terbatas.
Meski begitu, Wijayanto melihat peluang dari dinamika global, khususnya ketegangan dagang AS–China. Menurutnya, Trump Trade War justru bisa membuka pintu relokasi industri dari negara tetangga ke Indonesia.
"Potensi relokasi industri dari negara tetangga relatif besar, ini hanya akan terwujud jika kita serius memperbaiki iklim investasi dan iklim berusaha di Indonesia," pungkasnya.
Selanjutnya: Soal Pendirian Family Office, Airlangga: Belum Ada Tindaklanjut
Menarik Dibaca: Cara Buka Blokir Facebook dengan Bantuan Pusat Dukungan,Cepat & Mudah Dilakukan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News