Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah terus mengerek anggaran ketahanan pangan. Namun, efektivitas penggunaannya dinilai belum cukup signifikan untuk mencapai target.
Presiden Prabowo Subianto menetapkan anggaran ketahanan pangan pada 2026 di level Rp 164,4 triliun. Ini melanjutkan tren kenaikan yang terjadi sejak dua tahun berturut-turut. Di tahun 2025 anggaran ketahanan pangan dipatok Rp 155,5 triliun dan di tahun 2024 sebesar Rp 114,3 triliun.
Namun, Pengamat Pertanian Center of Reform on Economics (Core) Eliza Mardian menilai kenaikan anggaran besar tak serta-merta menyelesaikan persoalan mendasar sektor pangan.
“Produktivitas pertanian kita masih rendah, sehingga peningkatan produksi kerap ditempuh lewat perluasan areal tanam, bukan peningkatan teknologi,” jelas Eliza kepada Kontan, Jumat (15/8/2025).
Baca Juga: Anggaran Ketahanan Pangan Capai Rp 164,4 Triliun, Ini Rinciannya
Menurutnya, dibandingkan negara pesaing, produktivitas Indonesia masih tertinggal. Misalnya, produktivitas beras Indonesia lebih rendah dari Vietnam, jagung di bawah Argentina dan Brasil, sementara kedelai juga belum mampu mengejar negara produsen utama.
Alhasil, harga pangan domestik pun jauh lebih tinggi. Harga beras Indonesia, misalnya, tercatat dua kali lipat lebih mahal dari Vietnam, sedangkan harga jagung Indonesia 2,5 kali lipat jagung Amerika Serikat (AS). Ia menilai, tingginya harga pangan ini utamanya disebabkan kurangnya mekanisasi dan riset.
“Ekosistem riset kita mandek karena minim kolaborasi perguruan tinggi dan swasta, serta insentif pembiayaan R&D yang lemah. Tanpa inovasi, pertanian kita hanya mengandalkan perluasan lahan,” tegas Eliza.
Food estate dan MBG belum maksimal
Hal tadi pula yang menyebabkan proyek food estate, yang menjadi prioritas anggaran ketahanan pangan dengan serapan sekitar 32% anggaran belum membuahkan hasil nyata.
Secara konsep, Eliza menilai food estate bagus karena ingin membangun pertanian terintegrasi yang meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan keberlanjutan. Namun, implementasi di lapangan justru dipenuhi pendekatan deforestasi, menggusur lahan warga lokal, dan melawan kaidah ilmiah.
“Food estate tidak harus identik dengan pembukaan hutan. Jika petani eksisting dikluster dan didukung teknologi, irigasi, serta benih unggul, itu juga bisa dimaknai sebagai food estate,” kata Eliza.
Menurutnya, lebih tepat jika pemerintah merevitalisasi lumbung pangan yang ada ketimbang membuka lahan baru di kawasan hutan atau gambut.
Baca Juga: Anggaran MBG Tembus Rp 335 Triliun di 2026, Ekonom: Terlalu Berat Bagi Fiskal
Di sisi lain, anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) yang naik signifikan dari Rp 171 triliun pada 2025 menjadi Rp 353 triliun pun realisasinya masih rendah. Per Agustus 2025 serapannya baru mencapai Rp 8,2 triliun atau 4,7%.
“Ini menunjukkan ada bottleneck dalam sistem,” katanya.
Dalam hal ini, Eliza bilang pemerintah perlu melakukan desentralisasi dapur MBG dengan memanfaatkan dapur sekolah atau katering lokal alih-alih memaksakan model sentralisasi.
Selain mempercepat penyerapan, multiplier effect ke UMKM lokal, petani, nelayan, dan peternak juga akan lebih terasa.
Selanjutnya: Celios: Swasembada Pangan Masih Sulit Tercapai dalam 5 Tahun ke Depan
Menarik Dibaca: Cara Buka Blokir Facebook dengan Bantuan Pusat Dukungan,Cepat & Mudah Dilakukan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News