Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menilai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang diajukan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar dokumen fiskal, melainkan juga pernyataan politik yang menegaskan arah kebijakan lima tahun ke depan.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Rizal Taufikurahman mengatakan, postur anggaran perdana Prabowo menunjukkan ambisi besar untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui belanja negara, terutama lewat program prioritas seperti ketahanan pangan, energi, dan percepatan hilirisasi.
Namun, Rizal mengingatkan keberhasilan ambisi tersebut sangat bergantung pada dua hal, yakni kualitas alokasi anggaran dan efektivitas eksekusi di lapangan.
Menurutnya, anggaran yang pro-investasi produktif dan memperluas kapasitas produksi nasional tentu bisa menjadi katalis pertumbuhan.
"Tetapi jika belanja justru terjebak pada pola rutin, birokratis, atau berorientasi jangka pendek, maka RAPBN 2026 hanya akan memperbesar beban fiskal tanpa mendorong daya ungkit pertumbuhan yang nyata," ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Minggu (17/8/2025).
Baca Juga: Prabowo Targetkan Pendapatan Negara Mencapai Rp 3.147,7 Triliun dalam RAPBN 2026
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa tantangan Prabowo tidaklah sederhana. Dari sisi fiskal, pemerintah dibatasi oleh basis penerimaan negara yang rapuh, sementara kebutuhan belanja kian membengkak.
Di sisi lain, defisit dan utang juga harus tetap dijaga agar kredibilitas fiskal tidak terganggu di mata investor.
Faktor eksternal pun menambah kerumitan. Ketidakpastian geopolitik global, perlambatan ekonomi Tiongkok, dan fluktuasi harga energi bisa langsung menekan neraca perdagangan serta APBN Indonesia.
Baca Juga: Prabowo Patok Defisit Ditekan Jadi 2,48% dari PDB dalam RAPBN 2026
Sedangkan dari sisi struktural, Indonesia masih menghadapi masalah mendasar berupa produktivitas rendah, ketergantungan pada konsumsi, hingga deindustrialisasi dini yang melemahkan daya saing manufaktur.
"Di titik ini, dilema muncul, yakni Prabowo harus menyeimbangkan antara agenda kemandirian ekonomi yang cenderung proteksionis dengan kebutuhan menjaga iklim investasi dan keterbukaan perdagangan," katanya.
Menurutnya, jika keseimbangan ini gagal dijaga, maka arah ekonomi bisa terjebak dalam stagnasi, di mana belanja membengkak, target pertumbuhan tidak tercapai, dan kredibilitas fiskal berpotensi melemah.
Baca Juga: Ketua Banggar Sebut RAPBN 2026 Realistis, Tapi Harus Waspadai Hal Ini
Selanjutnya: 80 Tahun Merdeka, Industri Perbankan Dihadapkan pada Tantangan dan Peluang
Menarik Dibaca: Cara Buka Blokir Facebook dengan Bantuan Pusat Dukungan,Cepat & Mudah Dilakukan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News