Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah melihat ruang besar untuk meningkatkan penerimaan pajak dari empat sektor utama yang selama ini masih minim pengawasan, yakni perdagangan eceran, akomodasi dan makanan-minuman, perikanan, serta emas.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menghitung, potensi tambahan penerimaan pajak diperkirakan bisa mencapai Rp 20,98 triliun per tahun apabila sebagian aktivitas shadow economy tersebut berhasil masuk ke sistem perpajakan.
Ariawan mengungkapkan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2024 atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai sekitar Rp 22,14 kuadriliun.
Baca Juga: Bidik Shadow Economy, Ditjen Pajak Bakal Sasar Pedagang Hingga Pengusaha Nakal
Namun, rasio pajak Indonesia masih stagnan di level 12% PDB pada 2023, lebih rendah dibandingkan rata-rata negara Asia-Pasifik.
"Artinya, ruang intensifikasi kepatuhan, khususnya PPN & PPh berbasis konsumsi atau UMKM memang masih tinggi," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Selasa (19/8).
Perdagangan Eceran
Ariawan menjelaskan, Sektor perdagangan besar dan eceran menyumbang 13,07% PDB 2024 atau setara dengan Gross Value Added (GVA) Rp 2.894 triliun.
Namun, dengan 58,25% pekerja Indonesia masih di sektor informal dan dominasi usaha warung, kios, serta pedagang kaki lima, aktivitas perdagangan ini masih banyak yang luput dari sistem pajak.
Baca Juga: Bidik Pajak Shadow Economy, Sri Mulyani Pastikan UMKM Tetap Dapat Keringanan
Jika 10% dari GVA sektor ini masuk ke basis pajak, potensi tambahan penerimaan dari PPN dan PPh diperkirakan mencapai Rp 14,18 triliun.
Makanan dan Minuman
Kontribusi sektor makanan dan minuman mencapai Rp 584 triliun atau 2,6% PDB 2024. Data BPS mencatat omzet usaha makanan dan minuman tahun 2023 sebesar Rp 998,37 triliun, sebagian besar didominasi UMKM.
Dengan struktur usaha yang tersebar dan banyak transaksi tunai, risiko kebocoran PPN dan PPh sangat besar. "Kemungkinan kebocoran PPN dan PPh UMKM masih tinggi jika tak terkoneksi dengan e-invoicing atau pembayaran non tunai," katanya.
Baca Juga: Kemenkeu Bidik Potensi Pajak Ribuan Triliun dari Shadow Economy, Satgassus Dikerahkan
Dengan asumsi 10% dari aktivitas yang belum tercatat bisa masuk ke sistem, potensi pajak tambahan mencapai Rp 2,45 triliun.
Perdagangan Emas
Ariawan mengatakan, pasar emas domestik juga dinilai signifikan, meski permintaan perhiasan turun 12% pada 2023 akibat harga tinggi.
Ia menyebut, pemerintah telah menerapkan PPN besaran tertentu 1,1%–1,65% dan PPh 22 sebesar 0,25% untuk memonetisasi rantai perdagangan emas.
Namun, shadow economy masih terjadi di dua sisi, yakni ritel emas yang sangat terfragmentasi serta penambangan emas skala kecil yang sering ilegal (PETI).
Baca Juga: Bidik Shadow Economy, Adik Prabowo Optimistis APBN Tidak Defisit Lagi
Melalui kebijakan PMK 51/2025 yang memperkenalkan bullion bank dan skema PPh 0,25%, pemerintah berharap aktivitas emas dapat lebih masuk sistem.
Ia menghitung, potensi tambahan penerimaan dari sektor ini diperkirakan Rp 1,35 triliun hingga Rp 1,90 triliun per tahun.
Perikanan
Sektor perikanan menyumbang Rp562 triliun (2,54% PDB) di 2024. Namun, lemahnya digitalisasi rantai dingin (cold chain), minimnya pelabuhan pendaratan ikan yang terintegrasi, serta masih maraknya illegal fishing membuat potensi pajak banyak hilang.
Baca Juga: Prabowo Bakal Bidik Pendapatan Rp 1.463 Triliun per Tahun dari Shadow Economy
"Indikasi shadow economy sektor ini juga sangat signifikan," kata Ariawan.
Jika 10% dari nilai tambah sektor ini dapat diawasi dan dipajaki, Ariawan menghitung tambahan penerimaan bisa sekitar Rp 0,28 triliun.
Selanjutnya: Bank Indonesia Pangkas BI Rate 25 bps Jadi 5%
Menarik Dibaca: Harga Emas Hari Ini Menguji Naik, Pasar Tunggu Petunjuk Suku Bunga Fed dari Powell
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News