Sumber: Kompas.com | Editor: Yudho Winarto
Denda damai tak bisa diterapkan di kasus korupsi
Pada kesempatan tersebut, Mahfud juga menjelaskan bahwa mekanisme denda damai tidak bisa diterapkan untuk mengampuni koruptor sebagaimana disampaikan Menteri Supratman.
Mahfud menuturkan, mekanisme denda damai diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
Dalam ketentuan itu disebutkan, Jaksa Agung berwenang pada kondisi tertentu memberikan pengampunan melalui denda damai namun terbatas pada tindak pidana ekonomi.
Adapun tindak pidana ekonomi hanya menyangkut perpajakan, kepabeanan, dan bea cukai. “Hanya itu yang boleh. Kalau korupsi lain enggak boleh. Enggak pernah ada,” tutur Mahfud.
Hal yang sama juga disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar. Denda damai tidak bisa diterapkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi.
Denda damai hanya bisa diterapkan untuk menangani tindak pidana ekonomi yang merugikan keuangan negara.
“Klasternya beda, kalau denda damai itu hanya untuk undang-undang sektoral. Karena itu adalah turunan dari Pasal 1 Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi,” kata Harli kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).
Baca Juga: Usut Dugaan Korupsi CSR Bank Indonesia, KPK Geledah Kantor OJK
Menteri gemar cari pembenaran
Pada kesempatan tersebut, Mahfud mengaku heran dengan menteri hukum di Kabinet Merah Putih.
Mereka dinilai gemar mencari dalil atau pasal untuk membenarkan wacana yang digelontorkan, meskipun salah. Terkait transfer of prisoners atau pemulangan terpidana asing ke negara asalnya, misalnya.
Menurutnya, menteri terkait mencari-cari pembenaran, yang salah satunya dengan menyebut bahwa pemindahan terpidana cuma persoalan tactical arrangement.
“Saya heran ya, menteri terkait dengan hukum itu sukanya mencari dalil atau pasal pembenar terhadap apa yang disampaikan oleh presiden,” ujar Mahfud.
Hal yang sama, menurutnya, juga dilakukan Menteri Supratman ketika pemerintah menyampaikan keinginan mengampuni koruptor.
Menteri Hukum kemudian mencari dalil pembenar dengan menyebut pengampunan bisa dilakukan melalui denda damai yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan RI.
Padahal, kata Mahfud, sudah jelas undang-undang itu mengatur denda damai hanya untuk tindak pidana ekonomi.
“Oleh sebab itu, menyongsong tahun baru ini, mari ke depannya jangan suka cari-cari pasal untuk pembenaran,” tutur Mahfud.
“Itu bahaya nanti setiap ucapan presiden dicarikan dalil untuk membenarkan itu tidak bagus cara kita bernegara,” tambahnya.
Baca Juga: Jalani Pemeriksaan 7 Jam di Bareskrim, Ini Pernyataan Budi Arie Soal Judi Online
Pengembalian berlipat
Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI Pujiyono Suwadi mengusulkan, agar koruptor mengembalikan kerugian negara berlipat, bila wacana denda damai hendak diterapkan.
Artinya, kata Pujiyono, pelaku harus mengembalikan uang korupsi dalam jumlah berkali-kali lipat.
“Kalau denda damai itu diproses dan kasus diberhentikan tanpa pengadilan, pelaku korupsi harus mengembalikan uang dengan jumlah berlipat,” kata Pujiyono kepada Kompas.com, Kamis.
“Untuk kasus pajak dan bea cukai ada pengembalian empat kali lipat. Ini juga harus menjadi rujukan bagi pelaku korupsi, jangan hanya mengembalikan sebesar kerugian negara,” jelasnya.
Menurutnya, pengembalian uang negara lebih penting, daripada sekedar pidana badan. Ia pun mencontohkan kasus korupsi dengan kerugian besar dalam perkara asuransi Jiwasraya dan Asabri, yang kerugiannya belum pulih meski hukumannya berat.
“Tepuk tangan untuk hukuman berat, tapi substansi pengembalian kerugian negara tidak tercapai,” kata Pujiyono.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu...", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2024/12/27/06065861/mahfud-md-mana-ada-korupsi-diselesaikan-dengan-damai-korupsi-baru-itu?page=all#page2.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News