Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada 1.116 narapidana, termasuk politisi PDI-P Hasto Kristiyanto, serta memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.
Kebijakan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai langkah Presiden Prabowo ini sudah tepat dan sepenuhnya berada dalam koridor konstitusi.
Baca Juga: Pertumbuhan KPR Perbankan Makin Menyusut, Ini Pemicunya
“Pemberian amnesti dan abolisi sudah tepat. Keduanya merupakan kewenangan presiden sebagai kepala negara dan bersifat mutlak serta konstitusional,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (1/8).
Menurutnya, latar belakang politis dalam dua kasus tersebut menjadi alasan rasional bagi presiden untuk mengambil kebijakan pengampunan. Ia menilai tidak ada unsur kejahatan murni dalam perkara yang menjerat Hasto dan Tom Lembong.
“Sangat mungkin keduanya diberikan pengampunan karena dianggap bukan kejahatan murni, tapi bermotif politik. Buktinya, mengapa hanya TL yang dituntut sementara semua menteri perdagangan lainnya melakukan hal serupa? Ini mengindikasikan adanya motif politik dalam penuntutan oleh Jaksa Agung,” kata Fickar.
Ia bahkan secara terbuka mengkritik Jaksa Agung dan menyarankan agar dievaluasi atau dicopot dari jabatannya. “Jaksa Agung yang seperti ini harus dicopot. Presiden juga harus mengevaluasi kinerja pimpinan kejaksaan,” tegasnya.
Baca Juga: Tren Mobil Listrik Murah Meningkat, Pasar Indonesia Dikuasai Wuling dan BYD
Fickar menambahkan, pemberian amnesti dan abolisi ini merupakan bagian dari fungsi kekuasaan yudikatif presiden yang berasal dari warisan kekuasaan raja di masa lalu, namun telah dirasionalisasi secara konstitusional melalui Undang-Undang Dasar.
“Ini bertujuan untuk memberikan pengampunan atau pembebasan hukuman, terutama jika penindakan hukumnya dirasa tidak adil atau memuat unsur politik,” tambahnya.
Lebih jauh, Fickar menilai langkah Presiden Prabowo menunjukkan komitmen untuk tidak melanjutkan praktik kriminalisasi atas dasar perbedaan pandangan politik.
“Presiden tampaknya ingin menghentikan siklus hukuman yang berbasis dendam politik. Di era kepemimpinannya, diharapkan tak ada lagi penghukuman karena urusan keyakinan politik,” tutupnya.
Selanjutnya: Kinerja Kuartalan Lemah, Bumi Resources Minerals (BRMS) Masih Punya Prospek Panjang
Menarik Dibaca: Mengungkap Sumber Trauma Finansial yang Sering Terabaikan dan Cara Menyembuhkannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News