kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.210   -5,00   -0,03%
  • IDX 7.080   -83,96   -1,17%
  • KOMPAS100 1.055   -15,18   -1,42%
  • LQ45 826   -11,60   -1,38%
  • ISSI 212   -3,57   -1,65%
  • IDX30 424   -5,54   -1,29%
  • IDXHIDIV20 506   -9,70   -1,88%
  • IDX80 121   -1,59   -1,30%
  • IDXV30 125   -1,09   -0,87%
  • IDXQ30 140   -2,34   -1,64%

Wacana Pengampunan Koruptor, Mahfud MD: Itu Korupsi Baru Namanya Kolusi


Jumat, 27 Desember 2024 / 07:34 WIB
Wacana Pengampunan Koruptor, Mahfud MD: Itu Korupsi Baru Namanya Kolusi
ILUSTRASI. Mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/nym.


Sumber: Kompas.com | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Eks Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut, menyelesaikan korupsi melalui cara damai justru menjadi korupsi baru, yakni kolusi.

Menurut Mahfud, undang-undang terkait pemberantasan korupsi maupun hukum acara pidana di Indonesia tidak membenarkan penyelesaian korupsi dengan denda damai.

Wacana ini sebelumnya dilontarkan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, saat berbicara mengenai pengampunan atau amnesti bagi narapidana, termasuk koruptor. 

Melansir Antara, Andi mengungkapkan bahwa pengampunan kepada koruptor bisa dimungkinkan tanpa lewat presiden.

Sebab, menurutnya, Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberikan ruang kepada jaksa agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara yang dihadapi mereka.

Baca Juga: Hasto Tersangka, KPK Diminta Tak Ragu Jerat Pihak Lain yang Terlibat

“Mana ada korupsi diselesaikan secara damai. Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai,” kata Mahfud saat ditemui awak media di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2024).

Mahfud pun menuturkan, praktik kolusi semacam itu sudah sering dilakukan. Misalnya, aparat penegak hukum dan pelaku, melakukan pemufakatan jahat untuk mengkondisikan agar kasus korupsi tidak diproses atau diadili diam-diam.

Ketika kasus itu diketahui dan dibongkar oleh lembaga atau aparat penegak hukum yang lain, maka terjadilah perkara rasuah yang baru.

“Jaksa, polisi, hakim masuk penjara kan mau selesaikan diam-diam, ya toh, itu sama saja,” ujar Mahfud.

Baca Juga: Soal PDI-P Ragukan Bukti Baru untuk Jerat Hasto, KPK: Semua Akan Diuji di Pengadilan

Asset recovery tak bisa diam-diam

Mahfud memahami keinginan pemerintah yang ingin memaafkan koruptor dengan tujuan untuk memulihkan aset negara.

Hal ini selaras dengan United Nations Convention against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Anti-Korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pemulihan aset.

Namun, tindakan itu tidak bisa dilakukan dengan cara memaafkan secara diam-diam atau melalui mekanisme denda damai.

“Silakan asset recovery itu. Tetapi yang termudah agar tidak terjadi diam-diam penyelesaiannya,” ujar Mahfud.

Baca Juga: Wacana Pengampunan Koruptor Menuai Sorotan Publik

Mahfud mengatakan, pada tahun 2001 ketika ia menjadi Menteri Kehakiman, ia mengusulkan untuk memaafkan koruptor namun dilakukan secara terbuka.

Usulan itu kemudian ia tulis ulang dalam bukunya yang terbit pada 2003 dengan judul Setahun Bersama Gus Dur.

Mekanisme pengampunan secara terbuka ini sebelumnya telah diterapkan di Afrika.

Ia lantas mempertanyakan siapa pihak yang bertanggung jawab ketika pengampunan dilakukan secara diam-diam, siapa yang menerima laporan pengakuan koruptor, dan apakah pihak terkait bersedia namanya diumumkan ke publik.

“Dan salah kalau mengatakan undang-undang untuk mengembalikan aset itu tidak ada jalannya. Kalau mau, kalau mau ya, Undang-Undang Perampasan Aset,” ujar Mahfud.

“Diberlakukan saja Undang-Undang Perampasan Aset (tapi harus) yang sudah disetujui DPR sama Pemerintah dulu, tapi lalu (saat ini) macet di DPR. Itu saja diundangkan,” tambahnya.

Baca Juga: Harvey Divonis 6,5 Tahun, Hakim Perintahkan Aset Sandra Dewi Dirampas

Denda damai tak bisa diterapkan di kasus korupsi

Pada kesempatan tersebut, Mahfud juga menjelaskan bahwa mekanisme denda damai tidak bisa diterapkan untuk mengampuni koruptor sebagaimana disampaikan Menteri Supratman.

Mahfud menuturkan, mekanisme denda damai diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.

Dalam ketentuan itu disebutkan, Jaksa Agung berwenang pada kondisi tertentu memberikan pengampunan melalui denda damai namun terbatas pada tindak pidana ekonomi.

Adapun tindak pidana ekonomi hanya menyangkut perpajakan, kepabeanan, dan bea cukai. “Hanya itu yang boleh. Kalau korupsi lain enggak boleh. Enggak pernah ada,” tutur Mahfud.

Hal yang sama juga disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar. Denda damai tidak bisa diterapkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi.

Denda damai hanya bisa diterapkan untuk menangani tindak pidana ekonomi yang merugikan keuangan negara.

“Klasternya beda, kalau denda damai itu hanya untuk undang-undang sektoral. Karena itu adalah turunan dari Pasal 1 Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi,” kata Harli kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).

Baca Juga: Usut Dugaan Korupsi CSR Bank Indonesia, KPK Geledah Kantor OJK

Menteri gemar cari pembenaran

Pada kesempatan tersebut, Mahfud mengaku heran dengan menteri hukum di Kabinet Merah Putih.

Mereka dinilai gemar mencari dalil atau pasal untuk membenarkan wacana yang digelontorkan, meskipun salah. Terkait transfer of prisoners atau pemulangan terpidana asing ke negara asalnya, misalnya.

Menurutnya, menteri terkait mencari-cari pembenaran, yang salah satunya dengan menyebut bahwa pemindahan terpidana cuma persoalan tactical arrangement.

“Saya heran ya, menteri terkait dengan hukum itu sukanya mencari dalil atau pasal pembenar terhadap apa yang disampaikan oleh presiden,” ujar Mahfud.

Hal yang sama, menurutnya, juga dilakukan Menteri Supratman ketika pemerintah menyampaikan keinginan mengampuni koruptor.

Menteri Hukum kemudian mencari dalil pembenar dengan menyebut pengampunan bisa dilakukan melalui denda damai yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan RI.

Padahal, kata Mahfud, sudah jelas undang-undang itu mengatur denda damai hanya untuk tindak pidana ekonomi.

“Oleh sebab itu, menyongsong tahun baru ini, mari ke depannya jangan suka cari-cari pasal untuk pembenaran,” tutur Mahfud.

“Itu bahaya nanti setiap ucapan presiden dicarikan dalil untuk membenarkan itu tidak bagus cara kita bernegara,” tambahnya.

Baca Juga: Jalani Pemeriksaan 7 Jam di Bareskrim, Ini Pernyataan Budi Arie Soal Judi Online

Pengembalian berlipat

Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI Pujiyono Suwadi mengusulkan, agar koruptor mengembalikan kerugian negara berlipat, bila wacana denda damai hendak diterapkan.

Artinya, kata Pujiyono, pelaku harus mengembalikan uang korupsi dalam jumlah berkali-kali lipat.

“Kalau denda damai itu diproses dan kasus diberhentikan tanpa pengadilan, pelaku korupsi harus mengembalikan uang dengan jumlah berlipat,” kata Pujiyono kepada Kompas.com, Kamis.

“Untuk kasus pajak dan bea cukai ada pengembalian empat kali lipat. Ini juga harus menjadi rujukan bagi pelaku korupsi, jangan hanya mengembalikan sebesar kerugian negara,” jelasnya.

Menurutnya, pengembalian uang negara lebih penting, daripada sekedar pidana badan. Ia pun mencontohkan kasus korupsi dengan kerugian besar dalam perkara asuransi Jiwasraya dan Asabri, yang kerugiannya belum pulih meski hukumannya berat.

“Tepuk tangan untuk hukuman berat, tapi substansi pengembalian kerugian negara tidak tercapai,” kata Pujiyono.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu...", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2024/12/27/06065861/mahfud-md-mana-ada-korupsi-diselesaikan-dengan-damai-korupsi-baru-itu?page=all#page2.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×