Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025 dinilai tidak akan efektif. Pasalnya, realisasi penerimaan negara dari CHT sepanjang 2023 turun 2,35% year-on-year (YoY) menjadi hanya Rp213,48 triliun dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Candra Fajri Ananda menyebut, kondisi penurunan penerimaan cukai ini juga diperparah dengan tingginya peralihan konsumsi rokok ke rokok murah hingga maraknya peredaran rokok ilegal.
Cukai yang seharusnya menjadi instrumen pengendalian konsumsi rokok menjadi tidak berfungsi sebagaimana harusnya.
Baca Juga: Cukai Alkohol Naik, Cukai Rokok Turun
“Berdasarkan fakta tersebut, kenaikan CHT idealnya tidak lagi eksesif naik di dua digit setiap tahunnya. Hal ini untuk menjaga penerimaan negara dari CHT tetap tumbuh tanpa mendegradasi fungsi cukai dalam membatasi konsumsi dan dampak eskternalitas negatif dari konsumsi produk IHT (Industri Hasil Tembakau),” ujar Candra dalam keterangannya, Rabu (28/2).
Candra juga melihat adanya fenomena peningkatan produk rokok murah di masyarakat akibat kenaikan cukai yang agresif. Padahal ceruk pasar rokok dengan harga terjangkau ini kerap menjadi pintu masuk produk rokok ilegal.
Oleh sebab itu, lanjut dia, penentuan tarif cukai juga harus mempertimbangakan capaian indikator makro ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, daya beli masyarakat, dan tingkat penyerapan tenaga kerja serta rantai IHT dengan sektor lainnya.
"Jika tujuannya adalah membatasi konsumsi dan mengendalikan dampak ekternalitas negatif, maka perlu ada upaya lain di luar instrumen kenaikan tarif CHT,” tegasnya.
Baca Juga: Penerimaan Cukai Rokok Turun 2,82% pada Awal Tahun 2024
Lebih lanjut, Candra menilai perlu adanya sinkronisasi kepentingan dalam penentuan kenaikan tarif cukai, tidak melulu soal kesehatan saja yang menjadi dasarnya. Kepastian akan keberlangsungan IHT juga perlu menjadi perhatian.
"Komunikasi dan koordinasi yang efektif dan intensif dengan berbagai pemangku kepentingan akan menjadi kunci keberhasilan kebijakan di bidang cukai yang memberikan rasa keadilan dan menjamin keberlanjutan IHT, ketenagakerjaan, pertanian tembakau, penerimaan negara, dan juga tentu keberhasilan kebijakan cukai dari sisi regulasi dalam mengendalikan konsumsi dan dampak ekternalitas negatifnya," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Program Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti meminta kepada pemerintah agar berhati-hati dalam menetapkan cukai, apalagi jika sampai terlalu tinggi.
Baca Juga: Terkumpul Rp 23 Triliun, Setoran Kepabeanan dan Cukai Lesu di Awal Tahun
Esther menyarankan seharusnya pemerintah bisa lebih kreatif dalam meningkatkan penerimaan negara, sehingga tidak hanya bergantung pada cukai rokok saja yang justru dapat menjadi bumerang bagi negara.
“(Dampak kenaikan cukai) permintaan pabrik rokok berkurang, sehingga konsumen pun pindah ke rokok yang lebih murah. Bisa juga ke rokok ilegal, padahal rokok ini kan tidak membayar cukai. Kalau pindah ke rokok ilegal, yang rugi pemerintah juga. Dampaknya penerimaan pemerintah juga berkurang,” jelasnya.
Dengan gambaran itu, Esther berpendapat bahwa kenaikan cukai rokok seharusnya tidak boleh terlalu tinggi.
Baca Juga: Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Menyusut
Sebab, agresifnya kenaikan cukai rokok tidak mampu mengurangi konsumsi rokok di masyarakat, tetapi hanya beralih kepada rokok murah yang justru menjadi permasalahan baru.
“Cukai (rokok) itu kalau bisa jangan terlalu tinggi. Kalau naik ya oke, tetapi harus melihat kapasitas dari pabrik-pabrik rokok itu, melihat permintaannya juga. Pemerintah juga tidak boleh terlalu bergantung pada cukai rokok. Lebih kreatif, pemerintah harusnya memaksimalkan dari penerimaan negara bukan hanya dari pajak dan cukai saja,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News