Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
Sudarsono menambahkan, banyak hal yang perlu dicermati dan bisa diperdebatkan dalam Permen LHK No 7 tahun 2014 terkait metode penghitungan besaran ganti rugi dan biaya pemulihan.
Hal ini karena sejumlah aturan dalam regulasi tersebut memberlakukan penghitungan ganda (double counting) bahkan multiple counting.
Menurut Sudarsono, Penghitungan ganda misalnya terjadi pada penghitungan ekosistem dan biodiversity serta carbon indeed dan carbon loss. Dalam penghitungan hilang peluang ekonomi (economic losses) juga terjadi double counting.Permen tersebutnya memisahkan antara pendapatan dan keuntungan. Padahal, logikanya keuntungan merupakan bagian dari pendapatan.
Baca Juga: Update bencana di Indonesia sepanjang tahun 2019
“Penghitungan ganda berakibat pada nilai ganti rugi atas gugatan secara perdata yang nilainya fantastis Rp 315 triliun atau jika dirata-rata sebesar Rp 300 juta per hektar. Padahal sejumlah kajian hanya menghitung nilai ganti rugi dalam kisaran Rp 10 juta hingga Rp 20 juta per hektar.
Jika regulasi itu dipaksakan, potensi kebangkrutan investasi berbasis sumber saya alam seperti perkebunan sawit dan hutan Tanaman Industri (HTI) sangat besar karena tidak mampu membayar.
“Jika KLHK yakin bahwa angka fantastis gugatan bisa bisa dipertanggungjawabkan, sebaiknya nilai tersebut diajukan ke Uni Eropa sebagai kompensasi untuk untuk menjaga kawasan hutan dari karhutla,” katanya.
Baca Juga: Lahan gambut di OKI masih terbakar meski diguyur hujan 1,5 jam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News