Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk mencari solusi terbaik terkait utang jatuh tempo yang mencapai Rp 800 triliun pada tahun 2025.
Direktur Surat Utang Negara (SUN) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Deni Ridwan mengatakan, koordinasi tersebut dibutuhkan dalam rangka menjaga keberlanjutan fiskal.
"Jadi ini sesuatu hal yang bisa dibicarakan, sudah ada timnya dari pemerintah dengan BI untuk kita mendiskusikan bagaimana kita menangani SBN yang jatuh tempo tahun depan, yang sebetulnya diterbitkan dalam rangka untuk penanganan pandemi supaya nanti bisa mendapatkan solusi terbaik, di satu sisi juga dalam rangka menjaga untuk sustainabilitas fiskal kita," ujar Deni kepada awak media di Jakarta, Senin (10/6).
Baca Juga: Banyak Peminat, Pemerintah Pertimbangkan Penerbitan Euro Bond
Namun Deni menegaskan, selama pasar keuangan baik maka utang yang jatuh tempo pada tahun depan bukanlah menjadi sebuah masalah. "Ibu (Menkeu) menyampaikan kemarin kan selama pasar keuangan kita baik, selama confident dari masyarakat, dari investor bagus itu sesuatu yang masih bisa kita manage," katanya.
Deni menyebut, rata-rata pemerintah membayar utang jatuh tempo per tahun pada kisaran Rp 600 triliun hingga Rp 700 triliun. Nah, utang jatuh tempo yang tembus Rp 800 triliun pada tahun depan dikarenakan ada penarikan utang yang diterbitkan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19.
"Biasanya itu sekitar Rp 600 triliun sampai Rp 700 triliun. Cuma tahun depan itu kan jatuh tempo karena ada SBN yang diterbitkan dalam rangka penanganan pandemi Covid, jadi sebagian sekitar Rp 100 triliun yang dimiliki oleh BI," imbuhnya.
Baca Juga: Utang Pemerintah Naik Lagi, Kini Tembus Rp 8.319,2 Triliun
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa risiko dari profil utang jatuh tempo yang tinggi pada tahun 2025 sangat kecil apabila kondisi perekonomian Indonesia membaik, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kredibel dan kondisi politiknya stabil.
"Sehingga jatuh tempo yang seperti kelihatan tinggi itu tidak menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, kebijakan fiskal ekonomi dan politik tetap sama," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI, Kamis (6/6).
Berdasarkan paparannya, utang jatuh tempo pada 2025 sebesar Rp 800,33 triliun ini terdiri dari jatuh tempo Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 705,5 triliun dan jatuh tempo pinjaman sebesar Rp 94,83 triliun.
Sri Mulyani berdalih, jatuh tempo utang pemerintah yang tinggi pada tahun depan disebabkan oleh penarikan utang yang jumlahnya besar pada saat pandemi Covid-19.
Baca Juga: Menko Airlangga Ungkap Hasil Aturan Bawa Masuk DHE di Forum Bank Dunia
"Jangan lupa pandemi Covid-19 yang waktu itu hampir membutuhkan Rp 1.000 triliun belanja tambahan dana untuk menambah belanja sebesar itu pada saat penerimaan negara turun 19% karena ekonominya berhenti waktu itu," katanya.
Ia menjelaskan, penarikan utang yang tinggi ini berasal dari skema burden sharing bersama dengan Bank Indonesia (BI).
"Burden sharing itu menggunakan Surat Utang Negara yang maturitasnya maksimal 7 tahun. Jadi kalau maksimum jatuh tempo dari pandemi kita itu semua di 7 tahun. Dan memang ini sekarang konsentrasi di 3 tahun," kata Menkeu.
Baca Juga: Utang Pemerintah Bengkak Menjadi Rp 8.253 Triliun pada Awal Tahun 2024
"Ini yang kemudian menimbulkan persepsi kok banyak sekali utang numpuk karena itu adalah biaya pandemi yang mayoritas kita issue surat utangnya berdasarkan agreement waktu itu Komisi XI dengan BI untuk melakukan burden sharing," imbuh Menkeu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News