kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tiga tahap menghasilkan kepala daerah anti korupsi


Rabu, 20 Juni 2018 / 19:57 WIB
Tiga tahap menghasilkan kepala daerah anti korupsi
ILUSTRASI. DISTRIBUSI KOTAK SUARA PILGUB


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menilai, pemerintah butuh upaya ekstra mengeliminasi korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Terlebih proses Pilkada kini resmi dimulai.

Ade mengatakan setidaknya ada tiga tahap yang bisa dilakukan guna menghasilkan pemimpin daerah anti korupsi.

"Jangka panjangnya adalah perbaikan partai dan pemilih, jangka menangah prbaikan regulasi, sementara jangka pendeknya adalah kampanye anti politik uang," katanya saat dihubungi KONTAN, Rabu (20/6).

Lantaran proses Pilkada kini mulai bergulir, Ade bilang langkah paling tepat bagi pemerintah adalah menggalakan kampanye anti politik uang. Pun Ade menilai sedianya hal ini telah dilakukan dengan baik oleh pemerintah.

Hanya saja, langkah jangka pendek ini memang tak cukup, daftar kepala daerah yamg diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi justru makin bertambah.

Nah, soal ini kata Ade butuh upaya preventif lainnya. Misalnnya di jangka menengah di mana pemerintah dapat membuat regulasi yang progresif untuk mencegah tindak pidana korupsi oleh kepala daerah.

Khususnya menjelang Pilkada, dimana praktik politik uang justru marak. Meski dinilai telah cukup mumpuni, hukuman bagi pelaku politik uang, jarang menyentuh sang kandidat. Lantaran biasanya dilakukan oleh para pihak dengan ratai pasok yang panjang, bahkan tak menyentuh tim sukses.

Makanya, kata Ade, menjadi penting bagi penyelenggara maupun pengawas Pilkada untuk menyusun regulasi yang cukup progresif ini. Sebab menurutnya, sejatinya politik uang sama dengan suap, pembuktiannya sulit, dengan daluarsa yang sangat pendek.

"Kalau kandidat tertentu yang melakukan politik uang, meskipun berkuasa (petahana), pencalonannya bisa dianulir. Tapi itu belum ada di Undang-undang kita," papar Ade.

Wakil ketua KPK Laode Syarif sebelumnya kepada KONTAN juga menyatakan bahwa praktik suap memang jadi modus korupsi paling banyak dilakukan oleh kepala daerah.

"Kebanyakan modus korupsi yang dilakukan adalah suap, dan dilakukan secara sederhana," kata Laode saat dihubungi KONTAN beberapa waktu lalu.

Sepanjang 2018, hingga 4 Juni 2018, KPK sendiri mencatat setidaknya 795 laporan gratifikasi. Total nilai status kepemilikan gratifikasi yang menjadi milik negara adalah Rp 6.20 miliar yang terinci, Rp 5,44 miliar berupa uang, dan Rp 753 juta berupa barang.

Sementara secara jangka panjang, kata Ade butuh, upaya menghasilkan kepala daerah anti korupsi dapat dilaksanakan perbaikan dalam tubuh partai politik. Partai kata Ade musti lebih selektif melakukan penyaringan terhadap kandidat-kandidatnya.

"Sejak awal, partai-partai seharusnya jadi penyaring bagaimana kandidat yang diusung. Kalau saringannya saja rusak maka, yang disajikan ke masyarakat pun akan rusak. Belum lagi ditambah politik uang, di sini masyarakat punya peran penting untuk menolak," sambungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×