Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Potensi surplus neraca dagang Indonesia hingga akhir tahun 2025 diproyeksikan tertekan, seiring pengenaan tarif 32% dari Amerika Serikat (AS).
AS tetap mengenakan tarifnya meski pemerintah sudah wara-wiri di Washington melakukan negosiasi.
Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto memperkirakan, tren surplus neraca dagang bisa turun sekitar 30% pada akhir tahun 2025.
"Ini dihitung kalau dari sisi neraca dagang sebenarnya ada penurunan sekitar US$ 2,8 miliar sampai US$ 3,2 miliar, dari kontribusi AS sampai periode Desember 2025," ungkap Myrdal kepada Kontan, Selasa (9/7).
Menurutnya, ini sekaligus menandai tantangan baru bagi kinerja ekspor nasional. Ia juga memperingatkan bahwa kondisi ini akan memunculkan tekanan terbesar pada komoditas ekspor yang secara historis memiliki permintaan tinggi dari pasar AS yang juga rutin diekspor ke negeri Paman Sam tersebut.
Baca Juga: Surplus Perdagangan Dukung Stabilitas Cadangan Devisa RI di Tengah Volatilitas
“Kalaupun permintaan tetap eksis, kemungkinan ada penurunan volume ekspor, paling turun 30% terutama untuk produk yang memang bergantung pada pasar AS,” tambahnya.
Di sisi lain, Myrdal juga menyoroti kemungkinan dampaknya pada kondisi fiskal, khususnya pada potensi pelebaran defisit APBN. Pemerintah disebut perlu mencermati performa para eksportir pasca pengenaan tarif ini, apakah akan terhenti produksinya atau hanya mengalami penurunan volume produksi.
"Kalau masih jalan (produksinya) tapi volume ekspor menurun, ini bisa efek ke pajak (penerimaan negara), tapi ini perkiraannya tidak akan banyak(efek ke pajak)," ungkap Myrdal.
Namun demikian, Ia mengakui bahwa arah kebijakan dagang Amerika Serikat masih belum pasti ke depannya.
“Apalagi dengan Trump, kebijakannya bisa berubah-ubah. Jadi kita belum bisa pastikan,” tandasnya.
Pada sisi rencana kerja sama peningkatan impor dengan AS, Myrdal mengingatkan pentingnya pemerintah Indonesia untuk berhitung cermat dalam kerja sama energi, termasuk impor minyak dan LPG.
Menurut dia, pertimbangan efisiensi biaya menjadi hal utama dalam menentukan kelanjutan kebijakan impor dapat dijalankan atau tidak.
Baca Juga: Ditopang Nonmigas, Surplus Neraca Perdagangan Mei 2025 Naik Tajam jadi US$ 4,30 M
“Kalau cost-nya lebih murah, ya impor bisa lanjut. Tapi kalau tidak efisien dan ongkosnya lebih mahal, tentu perlu pertimbangan ulang. Apalagi negosiasinya masih dibuka sampai akhir Juli 2025,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa negosiasi perdagangan dengan AS sebaiknya tidak mengorbankan kepentingan ekonomi dalam negeri. Sebaliknya, perundingan harus diarahkan pada kerja sama investasi yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.
Myrdal menyimpulkan bahwa ketidakpastian tarif dan tekanan dari sisi ekspor ini harus diantisipasi dengan strategi mitigasi risiko yang tepat, terutama melalui diversifikasi pasar ekspor dan penguatan permintaan domestik.
Selanjutnya: Pabrik Karet Adik Prabowo Resmi Beroperasi, Kapasitasnya Mencapai 100 Ton per Hari
Menarik Dibaca: Alibaba Cloud Jalin Kemitraan Baru dengan Beragam Platform Tranformasi Teknologi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News