Reporter: Rika, Bambang Rakhmanto | Editor: Edy Can
JAKARTA. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara plus China, Jepang, dan Korea Selatan telah resmi membentuk badan bernama ASEAN+3 Macroeconomic Research office (AMRO) pada 1 Mei 2011 lalu. AMRO akan mengeluarkan rekomendasi apabila negara anggota ASEAN+3 butuh pinjaman likuiditas jangka pendek.
Masalahnya, peran AMRO masih terbatas. Sebab untuk mengakses dana lebih dari 20% komitmen, negara ASEAN masih butuh persetujuan Dana Moneter Internasional (IMF).
Bantuan likuiditas itu berasal dari skema Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM). Kesepakatan ASEAN+3 itu menyediakan bantuan dana melalui transaksi swap mata uang dengan dollar AS. Sekadar mengingatkan, tahun 2006 silam, 10 negara meneken komitmen senilai US$ 120 miliar sebagai dana awal yang bisa diakses untuk pinjaman likuiditas jangka pendek.
“Sumbangan Indonesia dalam AMRO sama dengan negara-negara ASEAN lainnya. Penyumbang terbesar datang dari China, Jepang, dan Korea Selatan,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro, Minggu, (29/5).
China dan Jepang masing-masing menyumbang 32% dana CMIM. Karena porsi sumbangannya tertinggi, maka mereka pun menjadi pengendali AMRO.
Mengritisi CMIM
Dalam skema CMIM, apabila cadangan devisa salah satu anggota ASEAN merosot drastis dalam jangka pendek misalnya karena krisis, negara itu bisa menarik dana pinjaman dalam dollar AS. Jumlahnya sesuai dengan porsi sumbangannya dalam CMIM.
Masalahnya, jumlah dana itu masih sangat kecil dibandingkan dengan potensi kebutuhan dana jika sebuah negara terserang krisis. Contoh, dengan kontribusi US$ 4,77 miliar, Indonesia hanya akan menerima pinjaman US$ 11,4 miliar. Padahal, pada krisis moneter 1997, rata-rata kebutuhan pinjaman negara ASEAN yang kena krisis mencapai US$ 40 miliar-US$ 60 miliar.
Sudah begitu, jika Indonesia atau negara ASEAN lain ingin menarik pinjaman di atas 20% dari kuotanya, maka mereka harus ikut program IMF. Dengan kata lain, negara ASEAN hanya dapat menarik dana US$ 2,3 miliar jika tak menginginkan keterlibatan IMF.
Karenanya, Ekonom UGM Anggito Abimanyu mengatakan, operasional AMRO masih menimbulkan dilema. Ia juga mengkritisi kendali AMRO di bawah China dan Jepang. “Bulan Maret lalu saya sempat memberikan masukan ke Deputi ASEAN+3 untuk memaksimalkan fungsi CMIM dan memutus hubungan dengan IMF,” ujarnya.
Anggito menambahkan, dalam dua tahun terakhir, aliran arus modal sangat deras memasuki negara ASEAN+3. “Seperti di Indonesia, cadangan devisa meningkat dari US$ 20 miliar menjadi US$ 100 miliar, jadi tampaknya Indonesia tidak memerlukan dana CMIM,” urainya. Maklum, cadangan devisa besar itu merupakan salah satu bantalan dana yang bisa digunakan jika terjadi pelarian modal.
Kesimpulannya, dengan dana terbatas, mandat terbatas, dan keterkaitan dengan IMF, pembentukan AMRO dilematis dan kurang relevan dengan masalah sekarang ini.
Anggito menyarankan jumlah dana CMIM dinaikkan dua kali lipat guna memenuhi kebutuhan minimum apabila terjadi penurunan cadangan devisa dalam jangka pendek. Ia menyarankan, agar negara-negara ASEAN+3 memanfaatkan kelebihan dana cadangan devisa untuk menambah modal pembentukan CMIM.
Cadangan devisa itu juga bisa dimanfaatkan sebagai jaminan pendanaan investasi bersama, misalnya ASEAN Infrastructure Fund (AIF) dan Sovereign Wealth Fund (SWF). “Selain itu, keterkaitan antara dana CMIM dan IMF harus dihapuskan karena kedua instrumen itu berbeda tujuannya,” imbuh Anggito. Rekomendasinya yang lain, meringankan syarat pinjaman dana sehingga negara ASEAN bisa mencairkan dengan cepat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News