Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menyoroti langkah pemerintah yang kembali menunda pengenaan cukai untuk produk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Cukai produk MBDK sebelumnya diwacanakan berlaku pada tahun 2026.
Namun, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memastikan bahwa pungutan cukai MBDK baru akan diberlakukan pemerintah ketika pertumbuhan ekonomi di atas 6%. Padahal, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, pemerintah telah menargetkan penerimaan cukai MBDK sebesar Rp 7 triliun.
Lembaga konsumen memberikan catatan kritis yang kontra terhadap penundaan cukai MBDK. Pengurus Harian YLKI Rafika Zulfa menyoroti langkah pemerintah yang terus menunda pungutan cukai MBDK.
Baca Juga: Purbaya: Shortfall Pajak 2025 Berpotensi Melebar, Tapi Defisit Dijaga di Bawah 3%
Padahal, menurut YLKI, penerapan cukai akan menekan pola konsumsi terhadap produk MBDK sekaligus akan berdampak positif bagi pendapatan negara.
Merujuk survei yang dilakukan oleh YLKI pada tahun 2023, sekitar 26% konsumen usia anak dan remaja gemar mengkonsumsi produk MBDK hampir setiap hari.
"Konsumen bisa dengan mudah menemukan produk MBDK. Selain itu, aksesibilitas harga menjadi peran penting ketika konsumen membeli produk, MBDK di Indonesia banyak yang dibanderol dengan harga yang relatif murah, dibalik fakta tersebut ditemukan juga kandungan gula yang tinggi dari setiap produk," kata Rafika kepada Kontan.co.id, Senin (15/12/2025).
Survei YLKI juga menemukan sekitar 85% konsumen setuju diberlakukan cukai untuk MBDK. Bahkan, konsumen menyarankan untuk tarif cukai yang signifikan yaitu lebih dari 20% dari harga produk, untuk memastikan cukai MBDK akan memberikan efek yang berarti.
"YLKI melihat ini merupakan bom waktu terjadinya penyakit tidak menular di kemudian hari terutama untuk konsumen usia muda," terang Rafika.
YLKI meminta agar pemerintah mengkaji ulang keputusan penundaan cukai MBDK. Sekaligus menepati janji untuk berkomitmen menerapkan cukai MBDK tanpa adanya penundaan kembali, dengan tarif minimal 20% sebagai kontrol bagi konsumen dalam konsumsi produk MBDK.
"Evaluasi menyeluruh terhadap proses pembuatan kebijakan serta perencanaan penerapan cukai MBDK. Penundaan cukai MBDK memperlihatkan bahwa pemerintah tidak serius dalam penanganan masalah kesehatan khususnya mengenai pengendalian konsumsi MBDK," ujar Rafika.
Baca Juga: Penerimaan Masih Mandek, Adik Prabowo Kritik Kinerja Aparat Pajak dan Bea Cukai
Ketua FKBI Tulus Abadi bahkan mendesak Presiden Prabowo Subianto agar membatalkan kebijakan Menkeu Purbaya terkait penundaan cukai MBDK.
Menurut Tulus, pengenaan cukai menjadi instumen yang tepat, apalagi ketika pemerintah memerlukan banyak biaya untuk pemulihan bencana ekologis, khususnya yang melanda Sumatra.
Tulus menyoroti sejumlah faktor yang membuat penundaan cukai MBDK ini menjadi blunder dari sisi kesehatan publik. Pertama, penundaan pengenaan cukai MBDK akan semakin mempermudah akses anak-anak dan remaja untuk mengonsumsi MBDK. Padahal, saat ini lebih dari 25% anak di Indonesia telah mengonsumsi MBDK setiap harinya.
"Tingginya konsumsi MBDK lebih dipicu oleh harganya yang murah dan akses pembelian yang sangat mudah. Fenomena ini akan menjadi pemicu utama kasus kegemukan dan obesitas pada anak anak, dan klimaksnya adalah ancaman diabetes pada anak, yang prevalensinya terus meningkat," terang Tulus.
Kedua, penundaan cukai MBDK juga akan mendorong tingginya prevalensi konsumsi produk MBDK pada orang dewasa, yang sudah mengalami peningkatan 14 kali lipat selama 10 tahun terakhir.
"Pola konsumsi semacam ini juga akan memicu berbagai penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, kanker, stroke, darah tinggi, dan utamanya adalah penyakit diabetes melitus," ungkap Tulus.
Baca Juga: Tangkal Barang Ilegal, Purbaya Resmikan Mesin X-Ray Canggih di Tanjung Priok
Ketiga, Tulus mengingatkan agar Pemerintah tidak melakukan "barter" kesehatan publik dan kesehatan anak-anak dengan kepentingan ekonomi, khususnya bagi kalangan industri MBDK. Menurut Tulus, pengenaan cukai MBDK tidak akan meruntuhkan industri MBDK.
Keempat, penundaan pengenaan cukai MBDK pada konteks regulasi adalah pelanggaran secara gamblang terhadap Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan, yang memandatkan pengendalian dari sisi fiskal dan non-fiskal.
"Penundaan pengenaan cukai MBDK juga merupakan ancaman serius terhadap upaya pemerintah yang punya cita-cita untuk mewujudkan bonus demografi dan bahkan generasi emas," tandas Tulus.
Selanjutnya: Pakai Kapal Ro-Ro, Pertamina Distribusi BBM dan LPG di Aceh
Menarik Dibaca: Manchester United Ditahan Bournemouth 4-4, Hasil yang Bikin Old Trafford Terdiam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













