kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sri Mulyani menilai penguatan nilai tukar rupiah jadi dilema, kenapa?


Selasa, 28 Januari 2020 / 21:13 WIB
Sri Mulyani menilai penguatan nilai tukar rupiah jadi dilema, kenapa?
ILUSTRASI. Menkeu Sri Mulyani (kanan) didampingi Wamenkeu Suahasil Nazara (kiri).


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih bergerak di bawah kisaran Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS) hingga hari ini. Selain menimbulkan deviasi terhadap asumsi dasar kurs rupiah yang ditetapkan sebesar Rp 14.400  pada APBN 2020, ada dilema lain di balik kuatnya mata uang Garuda tersebut. 

Di pasar spot, nilai tukar rupiah hari ini ditutup pada Rp 13.644 per dollar AS. Meski lebih lemah dibandingkan posisi hari sebelumnya, namun nilai tukar rupiah tercatat masih mengalami apresiasi sebesar 1,6% secara  year-to-date (ytd). 

Baca Juga: Waspada, Sri Mulyani perkirakan tekanan APBN 2019 akan berulang di tahun ini

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, penguatan rupiah sejak awal tahun ini terjadi kendati kondisi neraca pembayaran masih mengalami tekanan hingga tahun 2019 lalu. Begitu juga dengan neraca transaksi berjalan yang masih defisit meski lebih sempit dibandingkan defisit transaksi berjalan tahun 2018.

“Selain itu, dengan  overall kondisi makroekonomi yang baik, menyebabkan capital inflow yang luar biasa meningkat pada akhir tahun 2019 sampai sekarang pun masih terjadi. Bank Indonesia juga melihat penguatan kurs ini sangat berbeda dengan tren pada akhir 2018 yang membuat pemerintah memasang asumsi rupiah sampai Rp 15.000 pada APBN 2019 lalu,” tutur Menkeu dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Selasa (28/1). 

Derasnya arus modal asing yang masuk ke Indonesia, lanjut Sri Mulyani, lantaran posisi Indonesia dianggap relatif stabil di tengah situasi lingkungan global yang tidak pasti. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tahun lalu secara keseluruhan diyakini masih di atas 5% juga dinilai tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya (peer group countries). 

Seluruh persepsi tersebut tentu sangat positif, namun di sisi lain menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Sri Mulyani menyebut ada dilema di balik menguatnya kurs rupiah saat ini. 

Dilema itu ialah penguatan kurs rupiah akan menekan daya saing ekspor Indonesia. Padahal tahun ini, Indonesia perlu menggenjot kembali ekspor yang menurun di tahun lalu agar mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 

Selanjutnya, penguatan rupiah yang disokong oleh capital inflow ini juga dinilai Sri Mulyani menjadikan pasar keuangan Indonesia rentan terhadap potensi terjadinya pembalikan arus modal atau  capital reversal. 

Baca Juga: Ekonom: Dibayangi sentimen virus corona, rupiah berpotensi melemah besok

“Sedikit saja ada pemicu dari dalam maupun luar negeri, maka akan membuat terjadinya capital outflow yang besar dan ini menimbulkan volatilitas perekonomian yang sama persis seperti 2019 lalu,” sambung Sri Mulyani. 

Oleh karena itu, Sri Mulyani menegaskan pemerintah senantiasa memantau dan menganalisis perkembangan perekonomian termasuk asumsi-asumsi dasar makroekonomi secara menyeluruh. Dengan begitu, dampak terhadap perekonomian dan langkah kebijakan yang patut diambil bisa dipetakan dengan tepat. 

“Selalu ada hal baik dan buruk dari satu fenomena sehingga kami, pemerintah, tidak bisa melihat ini hanya dari satu sisi saja. Harus dari berbagai sisi dan aspek dari setiap fenomena perekonomian yang terjadi,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×