Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuka opsi untuk menambah utang baru, apabila defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 melebar dari yang ditargetkan 2,52% dari produk domestik bruto (PDB).
Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurahman menilai, pernyataan Menteri Keuangan tersebut sebagai bentuk peringatan awal atas potensi tekanan fiskal yang lebih besar di sisa tahun ini.
“Pernyataan Menkeu yang membuka opsi penambahan utang mengindikasikan bahwa pemerintah tengah mengantisipasi risiko pelebaran defisit fiskal, yang bisa menjadi sinyal awal tekanan terhadap postur APBN 2025,” tutur Rizal kepada Kontan, Kamis (26/6).
Baca Juga: Jika Defisit Melebar, Sri Mulyani Buka Opsi Tambah Utang
Rizal menyoroti bahwa realisasi belanja negara hingga Mei 2025 baru mencapai Rp 1.016,3 triliun atau 28,1% dari target dalam APBN.
Menurutnya, realisasi belanja tersebut tergolong rendah untuk pertengahan tahun dan menunjukkan bahwa daya dorong belanja publik terhadap pertumbuhan ekonomi belum optimal.
Ia menambahkan, jika di paruh kedua tahun ini belanja dipacu sekaligus untuk mengejar target kampanye Presiden Prabowo seperti makan siang gratis atau program infrastruktur lanjutan, maka risiko lonjakan defisit bisa menjadi nyata, dan di sinilah kekhawatiran Menteri Keuangan bermula.
Menurutnya, komunikasi fiskal yang dilakukan Menteri Keuangan merupakan bagian dari strategi untuk menciptakan ruang antisipatif menghadapi tekanan pembiayaan ke depan, serta peringatan kepada parlemen dan pasar bahwa fleksibilitas fiskal semakin terbatas.
“Pernyataan terbuka soal kemungkinan utang tambahan menunjukkan adanya front-loading komunikasi fiskal dari Menkeu, yang ingin menciptakan ruang antisipatif menghadapi tekanan pembiayaan,” kata Rizal.
Baca Juga: Sri Mulyani Janji Hati-Hati Kelola Utang di 2026
Ia membeberkan bahwa tekanan fiskal ini tidak hanya terkait persoalan teknis penganggaran, tetapi juga berkaitan dengan dinamika politik antara idealisme fiskal dan agenda populis pemerintahan baru.
Ketidaksesuaian antara proyeksi awal dan realisasi bisa memicu ketegangan teknokratis, terutama bila belanja ditambah tanpa reformasi di sisi penerimaan.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan sudah melakukan penarikan utang baru mencapai Rp 349,3 triliun hingga Mei 2025.
Penarikan utang baru ini tercatat meningkat tajam sebanyak 164,22% year on year (yoy) bila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 132,2 triliun.
Realisasi penarikan utang baru Rp 349,3 triliun tersebut telah mencapai 45% dari pagu 2025 yang mencapai Rp 775,9 triliun.
Baca Juga: Sri Mulyani Menghadap Prabowo Sebelum Publikasi Kinerja APBN Besok
Sementara itu, pembiayaan non utang mencapai Rp 24,5 triliun atau turun 49% yoy dari periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 47,6 triliun, dan sudah mencapai 15% dari pagu yang ditargetkan Rp 159,7 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News