kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revisi UU Pelayaran dalam RUU Cipta Kerja masih belum memberi udara segar bagi pelaut


Minggu, 01 Maret 2020 / 16:53 WIB
Revisi UU Pelayaran dalam RUU Cipta Kerja masih belum memberi udara segar bagi pelaut
ILUSTRASI. Kapal tunda (tug boat) memandu kapal kargo di perairan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur, Selasa (2/7/2019). Revisi UU Pelayaran dalam RUU Cipta Kerja dinilai masih belum memberi udara segar bagi pelaut. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/hp.


Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja turut menyasar aturan di dalam bidang pelayaran, yaitu dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

RUU Cipta Kerja ini melakukan peringkasan dengan menghapus, menambah, dan mengubah beberapa isi di dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Ada setidaknya 46 poin perubahan dari beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang diubah di dalam beleid sapu jagat ini.

Baca Juga: PSAK 72 menjadi tantangan emiten sektor properti

Jika dirinci, perubahan ini mencakup penghapusan 12 pasal lama, penambahan 1 pasal baru, serta revisi beberapa poin di dalam pasal lainnya. Keduabelas pasal dalam UU Nomor 17 tahun 2008 yang dihapus di dalam Omnibus Law ini, yaitu pasal 30, pasal 52, pasal 53, pasal 97, pasal 103, pasal 107, pasal 127, pasal 156, pasal 157, pasal 159, pasal 161, serta pasal 162.

Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, penghapusan pasal ini seharusnya tidak perlu dilakukan. Apalagi, pasal-pasal dihapus memuat aturan yang bersifat sangat teknis.

Seharusnya, kata Siswanto, pemerintah bisa mengatur beberapa ketentuan yang seharusnya dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja, seperti aturan mengenai upah pelaut yang selama ini belum diatur.

"Malah pasal yang nggak ada itu yang diperlukan, misalnya upah pokok bagi pelaut. Soal gaji itu kan diurus oleh lintas lembaga, ini kan harusnya diselesaikan oleh omnibus law," ujar Siswanto saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (1/3).

Baca Juga: PLTU masih jadi andalan, ini strategi pemerintah mengembangkan clean coal technology

Nihilnya pasal yang mengatur besaran upah minimum bagi pelaut tentu akan membuat pengaturan upah ini menjadi semakin tidak adil. Padahal, kata Siswanto, dibutuhkan banyak sertifikasi bagi pelaut sebelum mereka dapat menjalankan profesinya.

Selain penghapusan pasal, ada pula beberapa aturan yang diubah kewenangannya dari yang sebelumnya milik pemerintah daerah, kemudian menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Sebagai contoh, ketentuan pasal 5 dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 menyebutkan bahwa, pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Lalu, usulan rumusan perubahan dari pasal 5 di dalam RUU Cipta Kerja menjadi, pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah pusat.

Jika diteliti, terdapat perubahan kewenangan penguasaan dan pembinaan pelayaran pada pasal tersebut, dari yang sebelumnya penguasaan dan pembinaan dilakukan oleh pemerintah, tetapi di dalam RUU Cipta Kerja, aturan ini beralih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Di dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja, dijelaskan alasan perubahan ini adalah sesuai dengan arahan presiden.

Baca Juga: RSPI Sulianti Saroso periksa tiga pasien diduga terinfeksi virus corona

Di mana, politik hukum dalam penyusunan RUU Cipta Kerja kewenangan menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan/atau bupati/walikota perlu ditata kembali berdasarkan prinsip perizinan berusaha berbasis risiko dan menerapkan penggunaan teknologi informasi dalam pemberian perizinan, misalnya perizinan berusaha secara elektronik.

Disebutkan pula, potensi implikasi dari perubahan ini adalah memberikan fleksibilitas bagi pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan, dalam mengikuti dinamika masyarakat dan global yang semakin cepat.

Baca Juga: Pasar keuangan babak belur, bagaimana prospek pertumbuhan ekonomi 2020?

Siswanto berkomentar, seharusnya tidak semua peraturan dilimpahkan ke pemerintah pusat. Meskipun hal itu dinilai sah-sah saja, tetapi seharusnya pemerintah daerah (pemda) juga diberikan kesempatan yang sama.

"Sesuai dengan UU otonomi daerah, sebetulnya pelabuhan itu kan harus ditangani oleh pemda. Sekarang semuanya ditarik ke pusat, pemda nggak ada lagi pendapatan," katanya.

Untuk itu, kebijakan ini dinilai kurang efektif serta perlu dikaji lebih lanjut oleh pemerintah. Siswanto bahkan menyebut, penyusun RUU Cipta Kerja tidak mengikuti perkembangan UU Pelayaran, sehingga akhirnya mengeluarkan pasal-pasal yang kurang tepat sasaran.

Kemudian, terdapat juga penambahan satu pasal baru di dalam Omnibus Law Cipta Kerja yaitu pasal 8A yang mengatur mengenai penggunaan kapal asing.

Baca Juga: Peneliti LIPI: Omnibus Law Cipta Kerja jelas-jelas merugikan pekerja

Adapun isi dari pasal 8A mengatur mengenai kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di wilayah perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia.

Di dalam naskah akademik, dijelaskan alasan penambahan pasal ini dilakukan untuk mendukung kegiatan angkutan laut dalam negeri, mengingat terbatasnya ketersediaan kapal berbendera Indonesia untuk kegiatan tertentu.

Ditambah, alasan pendukung lain yang menyebutkan bahwa selama ini persetujuan penggunaan kapal asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A RUU telah diberikan berdasarkan PP Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan. Potensi implikasi dari adanya penambahan pasal ini diklaim dapat mewujudkan konektivitas antar pulau, serta adanya antisipasi terhadap resistansi dari para pelaku usaha.

Siswanto mengatakan, sebenarnya pasal 8A selama ini memang sudah diatur di dalam Permenhub Nomor PM 92 tahun 2018 tentang Tata Cara dan Persyaratan Persetujuan Penggunaan Kapal Asing untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri.

Baca Juga: Ekonom Indef turunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×