Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Tendi Mahadi
Di mana, politik hukum dalam penyusunan RUU Cipta Kerja kewenangan menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan/atau bupati/walikota perlu ditata kembali berdasarkan prinsip perizinan berusaha berbasis risiko dan menerapkan penggunaan teknologi informasi dalam pemberian perizinan, misalnya perizinan berusaha secara elektronik.
Disebutkan pula, potensi implikasi dari perubahan ini adalah memberikan fleksibilitas bagi pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan, dalam mengikuti dinamika masyarakat dan global yang semakin cepat.
Baca Juga: Pasar keuangan babak belur, bagaimana prospek pertumbuhan ekonomi 2020?
Siswanto berkomentar, seharusnya tidak semua peraturan dilimpahkan ke pemerintah pusat. Meskipun hal itu dinilai sah-sah saja, tetapi seharusnya pemerintah daerah (pemda) juga diberikan kesempatan yang sama.
"Sesuai dengan UU otonomi daerah, sebetulnya pelabuhan itu kan harus ditangani oleh pemda. Sekarang semuanya ditarik ke pusat, pemda nggak ada lagi pendapatan," katanya.
Untuk itu, kebijakan ini dinilai kurang efektif serta perlu dikaji lebih lanjut oleh pemerintah. Siswanto bahkan menyebut, penyusun RUU Cipta Kerja tidak mengikuti perkembangan UU Pelayaran, sehingga akhirnya mengeluarkan pasal-pasal yang kurang tepat sasaran.
Kemudian, terdapat juga penambahan satu pasal baru di dalam Omnibus Law Cipta Kerja yaitu pasal 8A yang mengatur mengenai penggunaan kapal asing.
Baca Juga: Peneliti LIPI: Omnibus Law Cipta Kerja jelas-jelas merugikan pekerja
Adapun isi dari pasal 8A mengatur mengenai kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di wilayah perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia.
Di dalam naskah akademik, dijelaskan alasan penambahan pasal ini dilakukan untuk mendukung kegiatan angkutan laut dalam negeri, mengingat terbatasnya ketersediaan kapal berbendera Indonesia untuk kegiatan tertentu.
Ditambah, alasan pendukung lain yang menyebutkan bahwa selama ini persetujuan penggunaan kapal asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A RUU telah diberikan berdasarkan PP Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan. Potensi implikasi dari adanya penambahan pasal ini diklaim dapat mewujudkan konektivitas antar pulau, serta adanya antisipasi terhadap resistansi dari para pelaku usaha.
Siswanto mengatakan, sebenarnya pasal 8A selama ini memang sudah diatur di dalam Permenhub Nomor PM 92 tahun 2018 tentang Tata Cara dan Persyaratan Persetujuan Penggunaan Kapal Asing untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri.
Baca Juga: Ekonom Indef turunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News