kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Penyapu jalan menggantungkan harapan kepada Ahok


Sabtu, 30 Agustus 2014 / 08:47 WIB
Penyapu jalan menggantungkan harapan kepada Ahok
ILUSTRASI. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso?bersama Chairman CT Corp Chairul Tanjung (kanan) saat peluncuran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di Transmart Cempaka Putih, Jakarta, Rabu (15/3/2023).


Sumber: Kompas.com | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Hari masih gelap. Jarum jam menunjuk pada pukul 02.30 WIB. Sebagian besar warga Ibukota Jakarta masih terlelap dalam tidur. Jalanan di beberapa kawasan tampak lengang. 

Kokok sang jago belum terdengar ketika Darmawan dan istrinya Lina mulai menyapu sepanjang Jalan Pondok Pinang Raya, Jakarta Selatan. 

Sorot lampu penerangan jalan raya (PJU) di kedua sisi jalan membantu keduanya untuk membersihkan sampah seperti botol bekas minuman hingga daun-daun kering yang berguguran. 

Udara pagi yang dingin menusuk kulit tidak menjadi penghalang bagi Darmawan dan Lina untuk bekerja dini hari. Keduanya sibuk menyapu jalan tanpa menghiraukan beberapa kawula muda yang memanfaatkan situasi lengang di kawasan tersebut untuk ugal-ugalan menggunakan motor. 

“Memang setiap hari kami harus mulai kerja jam segini (pukul 02.30 WIB). Kalau mulai jam 5 pagi, di sini udah mulai ramai kendaraannya,” ujar Darmawan membuka percakapan di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2014). 

Darmawan mengaku menekuni pekerjaan ini (penyapu jalan) sejak dua tahun silam. Dia dan istrinya ditempatkan pada lokasi yang sama, Darmawan menyapu sisi kiri jalan sedangkan Lina bertanggungjawab membersihkan sisi kanan jalan. 

Pria asal Madiun, Jawa Timur ini juga bersyukur penghasilannya sebagai tukang sapu cukup untuk membiayai pendidikan ketiga anaknya, walaupun terkadang dia harus mengutang. 

“Kalau dulu masih dipegang swasta, kami hanya digaji Rp 700.000. Saat (kepemimpinan) Pak Jokowi, gaji kami naik, makanya saya dan istri saya semangat kerja,” ujar dia. 

Darmawan menambahkan, sudah merantau ke Jakarta sejak tahun 1989 usai menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah menengah atas. Berbekal ijazah SMA, dia mencoba peruntungannya di metropolitan Jakarta kala itu. 

Tanpa keterampilan yang memadai, lanjut Darmawan, dia terpaksa mengubur mimpinya untuk bisa bekerja sambil kuliah. Masa-masa itu dilewatinya dengan bekerja sebagai kuli bangunan dengan penghasilan yang kecil. 

Pekerjaan sebagai kuli ditekuni hinga dia menikahi Lina pada tahun 1996. Dari pernikahan mereka, lahirlah Arief (17), Nisa (14) dan si bungsu Riki (10). Ketiga anaknya kini dititipkan pada sang nenek di Madiun. 

Arief saat ini bersekolah di sebuah SMK (sekolah menengah kejuruan) di Madiun, sedangkan Nisa duduk di bangku SMP dan adiknya Riki baru saja duduk di kelas V SD. 

Pengalaman dan cita-cita masa lalu yang urung tersampai menjadi motivasi baginya untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga bergelar sarjana. 

“Saya ingin masa depan anak-anak saya lebih baik dari kami orangtuanya. Kami tidak ingin mereka bekerja seperti kami,” sambung Arief.

Pekerjaan sebagai penyapu jalan ditekuni dengan serius dan penuh tanggung jawab oleh pasangan suami istri ini. Bahkan, mereka selalu memulai pekerjaan tersebut sejak pukul 02.30 WIB dan rehat sejenak pada pukul 06.00 pagi ketika jalanan di sekitar kawasan tersebut mulai dipadati kendaraan bermotor. 

Kendati demikian, dia bersama istrinya masih akan tetap berada di lokasi tersebut hingga pukul 09.00 pagi untuk sesekali memungut sampah yang dibuang sembarangan para pengendara yang melintas. 

“Setelah jam 09.00 kami istirahat sampai jam 1 siang. Setelah itu lanjut kerja bersih-bersih sampai jam 5 sore,” ujar ayah tiga anak ini lagi. 

Darmawan dan Lina harus menyapu sepanjang 2,5 km. Lokasi awal mereka menyapu dari perempatan Pondok Pinang – Lebak Bulus hingga ke Seven Eleven di Jalan Pondok Pinang Raya. 

Kendati digaji Rp 80.000 per hari atau Rp 2.400.000 untuk sebulan, Darmawan mengaku masih harus sering mengutang karena jadwal pembayaran gaji yang tak pasti setiap bulannya. Utang tersebut dipakai untuk membantu kebutuhan hidup anak-anaknya di Madiun dan kebutuhan mereka di Jakarta.

Tentang upah tersebut, lanjut Darmawan, dia berharap nantinya gaji mereka bisa dinaikkan sehingga kebutuhan hidup mereka bisa terpenuhi. 

“Kalau nanti Pak Ahok jadi gubernur, saya ingin dia perhatian sama rakyat kecil seperti kami. Kalau bisa kami digaji Rp 3 juta per bulannya,” kata dia. 

Darmawan memiliki alasan tersendiri terkait permintaannya itu. Dia ingin agar dengan gaji sebesar itu, dia bersama istrinya bisa sedikit demi sedikit menabung untuk persiapan kuliah anak-anaknya nanti. 

Dalam pandangannya, pendidikan adalah salah satu jalan bagi anak-anaknya agar bisa mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Apalagi ke depannya persaingan di dunia kerja semakin ketat sehingga dia ingin mempersiapkan masa depan anak-anaknya lebih baik. 

Usai berbincang sejenak, Darmawan pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Dengan hati-hati, dia membersihkan daun-daun yang berada di sela-sela pembatas jalan. Hari masih gelap, tetapi udara dingin tak lagi begitu menusuk kulit. 

“Saya harus bersih-bersih di sini lebih cepat, karena nanti harus bersihkan tumpukan sampah bekas orang jualan di lesehan. Di sana (sampahnya) lebih banyak,” ujar dia lalu tersenyum lepas. (Yohanes Debrito Neonnub)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×