Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat tulang punggung penerimaan pajak masih mengalami kontraksi hingga Juli 2025.
Tercatat, penerimaan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah (PPN & PPnBM) baru terkumpul Rp 350,62 triliun atau turun 12,8% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Sementara itu, PPh Badan tercatat sebesar Rp 174,47 triliun atau turun 9,1% jika dibandingkan periode yang sama di 2024.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat menilai bahwa tren tersebut dipengaruhi kombinasi faktor eksternal dan internal yang menggerus penerimaan negara.
Baca Juga: Indef Ungkap Penyebab Demo Akhir Agustus 2025: Kesenjangan, Pajak, hingga PHK
Menurutnya, sektor-sektor besar penyumbang PPh Badan seperti pertambangan dan industri manufaktur berbasis komoditas memang sedang tertekan harga dan volume pada periode sebelumnya. Dampaknya langsung menekan laba dan PPh terutang.
"Meski ada perbaikan di beberapa bulan, efek transisi masih terlihat," kata Ariawan kepada Kontan.co.id, Minggu (14/9).
Selain faktor ekonomi, dinamika kepatuhan juga berpengaruh. Menurutnya, ada indikasi wajib pajak memilih menunda pelunasan atau menata ulang periode pelaporan (timing differences) sehingga terlihat sebagai penurunan sementara akibat adanya ketidakpastian regulasi dan administrasi perpajakan.
Ia mencontohkan masalah implementasi sistem Coretax yang belum optimal, mulai dari bug, mismatch invoice, hingga waktu proses yang panjang.
Selain itu, penyesuaian aturan baru seperti PER-11/PJ/2025 juga menambah kompleksitas. Aturan ini mengubah threshold angsuran PPh Pasal 25, sehingga wajib pajak perlu melakukan rekalkulasi angsuran berkali-kali.
Di sisi lain, melonjaknya restitusi serta adanya insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) juga membuat penerimaan bruto PPN tergerus.
Ke depan, Ariawan memperkirakan penerimaan bisa pulih pada kuartal IV-2025 hingga kuartal I-2026 jika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mampu segera menstabilkan Coretax dan restitusi kembali normal.
Namun, ia juga memberi peringatan keras. Pasalnya, apabila dua jenis pajak tersebut mengalami kontraksi berlanjut hingga 6–12 bulan ke depan, maka anggaran berpotensi semakin tertekan.
"Penurunan penerimaan tentu menimbulkan defisit anggaran jadi membengkak sehingga berimbas pada penyesuaian belanja atau pembiayaan tambahan," katanya.
Selain itu, dengan kurangnya anggaran maka kemungkinan pemerintah untuk menjalankan program-programnya juga akan terhambat.
Baca Juga: Kontraksi Mulai Mereda, CITA Optimistis Penerimaan Pajak Bisa Tumbuh Tahun Ini
Selanjutnya: Industri Elektronik Minta Regulasi TKDN Baru Diterapkan Secara Fair
Menarik Dibaca: Daftar 7 Film Biografi Tokoh Dunia Ternama dan Berpengaruh, Sudah Nonton Semua?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News