Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi menunjukkan sinyal positif, namun belum merata di seluruh sektor.
Misalnya saja PMI Manufaktur Indonesia yang mencapai 53,6 pada Februari 2025, atau naik 1,7 poin dibandingkan Januari 2025.
Namun, indikator ekonomi lainnya belum menunjukkan pemulihan yang sejalan. Bank Indonesia (BI) mencatat rasio NPL kredit rumah tangga per Januari 2025 berada di level 2,17%. Ini meningkat dibandingkan Januari 2024 di level 1,90%.
Di sisi lain, daya beli masyarakat juga belum menguat serta nilai tukar rupiah yang terus melemah menambah tantangan bagi perekonomian nasional.
Baca Juga: Kepala Bappenas Sebut Periode Ini Kesempatan Terakhir Lepas dari Jebakan Ekonomi 5%
Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai bahwa pemulihan ekonomi Indonesia memang masih belum merata meskipun PMI Manufaktur Februari mengalami kenaikan signifikan.
Menurutnya, indikator ekonomi lainnya justru menunjukkan adanya perlambatan yang mengkhawatirkan.
"PMI Manufaktur Februari naik tinggi, tetapi data-data lain justru menunjukkan ekonomi lesu," kata Syafruddin kepada Kontan.co.id, Senin (17/3).
Ia menjelaskan bahwa PMI yang meningkat tidak serta-merta mencerminkan perbaikan ekonomi yang menyeluruh. Lonjakan tersebut mungkin disebabkan oleh faktor musiman atau insentif pemerintah, sementara daya beli masyarakat tetap lemah.
Deflasi yang terjadi beberapa bulan ini juga mengindikasikan permintaan masyarakat yang rendah. Sementara tingginya rasio NPL kredit rumah tangga mencerminkan tekanan keuangan yang masih dirasakan oleh banyak keluarga.
Di sisi lain, pelemahan Rupiah terhadap mata uang asing bisa dipicu oleh capital outflow dan ketidakpastian global.
Syafruddin menegaskan bahwa untuk memastikan pemulihan ekonomi yang berkelanjutan, diperlukan strategi yang lebih komprehensif.
Baca Juga: Ada Kasus PHK, Efek THR terhadap Pertumbuhan Ekonomi Diprediksi Tidak Maksimal
Misalnya saja stimulus untuk meningkatkan daya beli, stabilisasi nilai tukar rupiah, serta koordinasi kebijakan fiskal dan moneter agar pertumbuhan sektor manufaktur tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga didukung oleh konsumsi dan investasi yang kuat.
"Kenaikan PMI Manufaktur tidak serta-merta berarti ekonomi sedang pulih. Jika indikator lain tetap lemah, ini menunjukkan bahwa pemulihan belum merata dan tidak berkelanjutan," katanya.
Lebih lanjut, ia memperingatkan bahwa jika hanya bertumpu pada ekspansi manufaktur tanpa peningkatan daya beli dan stabilitas keuangan, maka pertumbuhan yang terjadi berisiko menjadi booming sesaat yang tidak berkelanjutan.
Oleh karena itu, ia mendorong adanya langkah konkret dari pemerintah dan pemangku kebijakan untuk memastikan pemulihan ekonomi yang lebih merata dan berkelanjutan.
Selanjutnya: BAB Susah saat Puasa? Jangan Panik, Ini Penyebab dan Solusinya
Menarik Dibaca: 6 Ramuan Herbal Asam Urat yang Alami dan Sehat, Boleh Dicoba
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News