Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Pribumi Nusantara Indonesia (Asprindo), Prof Didin S Damanhuri, menyambut baik komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan.
Menurutnya, Prabowo membawa platform baru yang berbeda dari pemerintahan sebelumnya, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang lebih berorientasi pada ekonomi kerakyatan dibandingkan infrastruktur besar-besaran.
Baca Juga: Kampung Industri, Alternatif Solusi Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan
Namun, ia menilai perubahan paradigma ini membuat implementasi program tidak berjalan dengan cepat.
Beberapa janji yang masih dinanti realisasinya antara lain pemberantasan korupsi, swasembada pangan dan energi, serta efisiensi anggaran untuk menekan kebocoran yang diperkirakan mencapai 30 persen atau hampir Rp1.000 triliun.
"Saya mengapresiasi bagaimana Prabowo bisa mereview berbagai program dinas pemerintahan senilai 10 persen dari APBN dan melakukan penghematan sekitar Rp306 triliun," ujar Prof Didin dalam keterangannya, Rabu (29/1).
Salah satu kebijakan progresif yang disoroti adalah pengendapan devisa hasil ekspor sumber daya alam selama satu tahun.
Namun, ia mempertanyakan kesiapan pelaksanaan kebijakan tersebut sesuai Keputusan Presiden (Keppres).
Terkait swasembada pangan, Prof Didin menilai langkah pemerintah cukup kontroversial dengan melibatkan TNI dalam program food estate.
Baca Juga: Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi 8%, Asprindo Gagas Program Kampung Industri
"Seharusnya pemerintah lebih banyak melibatkan petani agar hasilnya lebih maksimal. Hal yang sama juga terjadi di swasembada energi," tuturnya.
Di sisi lain, ia mengapresiasi sikap tegas Prabowo yang menolak keberadaan "negara dalam negara", khususnya dalam aspek ekonomi nasional dan penegakan hukum.
Namun, Prof Didin menilai pemerintahan Prabowo masih terpengaruh kebijakan lama, terutama di sektor ekonomi.
Ia menekankan perlunya revisi regulasi yang tidak mendukung ekonomi kerakyatan, seperti aturan impor barang yang bersaing dengan produk lokal dan skema bagi hasil antara negara dan swasta yang saat ini dinilai lebih menguntungkan pihak asing, khususnya di sektor pertambangan.
"Misalnya, aturan bagi hasil yang saat ini 3:7 lebih menguntungkan swasta. Seharusnya bisa 50:50 agar tidak merugikan negara," ujarnya.
Ia juga menyoroti tingginya suku bunga Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN, yang membuat biaya modal dan bisnis lebih mahal.
Baca Juga: Hebat, koperasi ini bakal ekspor ratusan ton bumbu rendang ke Arab Saudi
"Pelaku usaha butuh stabilitas nilai tukar dan suku bunga kompetitif. Pemerintah harus gercep jelang enam bulan masa pemerintahan," tegasnya.
Selain itu, ia menyarankan Presiden Prabowo untuk mengevaluasi kementerian yang dinilai tidak performa dan terlalu gemuk.
"Kalau tidak efektif, harus jadi objek reshuffle. Karena semakin besar, semakin lambat dan berbiaya tinggi," pungkasnya.
Selanjutnya: Hadapi Momen Krusial, Ini Sentimen Penggerak Harga Bitcoin Pekan Depan
Menarik Dibaca: Promo Alfamart Long Weekend sampai 2 Februari 2025, Es Krim Beli 2 Lebih Hemat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News