Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Seratus hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto disambut optimisme sekaligus skeptisisme.
Di balik target ambisius pertumbuhan ekonomi 8% yang dijanjikan, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengamati kenyataan yang lebih kompleks, mulai dari deindustrialisasi prematur, ekspor yang melambat, hingga rasio pajak yang tak kunjung naik.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira memperkirakan perekonomian Indonesia pada 2025 tidak akan mencapai 5%. Hal ini dikarenakan deindustrialisasi prematur yang masih berlanjut, ditambah kinerja ekspor yang diproyeksikan lebih rendah tahun ini.
Selain itu, ketergantungan pada investasi dan ekspor ke China disaat perang dagang era Trump juga menjadi penyebabnya.
"Ekonomi masih tumbuh rendah bahkan dikisaran 4,7% hingga 4,8% yoy untuk tahun 2025," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (27/1).
Baca Juga: 100 Hari pemerintahan Prabowo, Pergerakan Rupiah Cenderung Melemah
Ia juga melihat adanya kelemahan di sektor fiskal, khususnya dalam meningkatkan rasio pajak. Menurutnya, tanpa upaya serius meningkatkan kepatuhan pajak dan memperkenalkan kebijakan pajak progresif baru, pemerintah tidak akan cukup memiliki amunisi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Bhima juga mengkritik kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dianggap menggeser anggaran penting seperti pendidikan dan kesehatan sehingga efeknya terhadap perekonomian tidak akan optimal.
"Jika pemerintah daerah (pemda) diminta berhemat untuk biayai MBG maka proyek infrastruktur, bahkan stimulus daya beli melalui bansos di daerah bisa macet," katanya.
Di sisi lain, peningkatan utang pemerintah juga menjadi hambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia memperingatkan potensi efek crowding out, di mana pemerintah menarik dana domestik melalui surat utang dengan imbal hasil tinggi, sehingga mengurangi likuditas untuk sektor swasta.
Menurutnya, jika tahun ini utang pemerintah bisa tembus Rp 10 triliun, maka perbankan dan pelaku usaha perlu was-was karena kucuran kreditnya akan jadi melambat.
"Padahal untuk tumbuhkan ekonomi 8%, setidaknya pertumbuhan kredit harus tiga kalinya atau 24% per tahun. Karena utang pemerintah menyedot dana deposan bank, maka bank juga tahan penyaluran kredit baru," katanya.
Sementara itu, Senior Economist dari PT KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana mengatakan, target pertumbuhan ekonomi 8% tidak akan bisa dicapai di pemerintahan Prabowo, baik dalam lima tahun ke depan.
Hal ini berkaca dari tidak adanya kebijakan baru yang dijalankan Prabowo dalam 100 harinya.
"Dalam dua hingga tiga tahun ke depan bahkan sampai lima tahun juga masih sangat berat, karena belum ada kebijakan yang sangat baru, yang relatif berbeda dari sebelumnya," kata Fikri.
Ia menilai, meski ada langkah positif seperti penghematan anggaran dan program MBG, namun kelemahan dalam kebijakan fiskal dan administrasi pajak membuat target pertumbuhan ekonomi 8% sulit tercapai.
Fikri mencontohkan, sistem Coretax yang diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak justru dinilai menyulitkan Wajib Pajak karena kompleksitasnya.
Dengan kinerja pemerintahan prabowo selama 100 hari, ia melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di kisaran 5% seperti saat ini.
Baca Juga: Simak Catatan Analis terhadap Kinerja Pasar Saham di 100 Hari Prabowo - Gibran
Selanjutnya: Pemerintah Ketatkan Ikat Pinggang, Babat Anggaran Hingga Rp 256 Triliun
Menarik Dibaca: Bali Mayoritas Hujan, Waspadai Hujan Petir di 3 Wilayah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News