Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pemerintah tidak akan terpengaruh dengan hasil keputusan konferensi World Trade Organization (WTO) di Bali terkait penambahan subsidi pangan. Pemerintah beralasan, penambahan alokasi anggaran untuk subsidi tidak sederhana.
Besaran subsidi tidak hanya dikarenakan nilainya yang kecil, tetapi didasarkan atas proporsi dan kebutuhannya. Dalam keputusan WTO, setiap negara memperbolehkan memberi subsidi hingga 15% dari total produksi pertanian, sementara Indonesia hanya sebesar 8%.
Menteri keuangan Chatib Basri, menuturkan pemerintah sangat peduli dengan perkembangan harga pangan di pasar. Namun demikian, untuk menambah subsidi menurutnya tidak perlu dilakukan saat ini. “Kita harus lihat, apakah dengan menambah subsidi akan efektif terhadap stabilitas pangan kita atau tidak,” ujarnya.
Chatib melihat, pemberian subsidi dalam APBN 2014 sudah sesuai dengan porsinya. Dimana APBN tersebut disusun berdasarkan hasil kesepakatan antara pemerintah dengan anggota Dewan Perwakilan rakyat (DPR). Dalam APBN 2014, jumlah subsidi untuk pangan telah dianggarkan sebesar Rp 18,8 triliun.
Subsidi paling besar diberikan pemerintah untuk sektor energi yang terdiri dari subsidi untuk BBM dan LPG sebesar Rp 210,7 triliun. Sementara subsidi untuk listrik mencapai Rp 71,3 triliun.
Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai pemberian subsidi terhadap pangan dinilai penting dalam menjaga stabilitas harga pangan. Seperti diketahui, salah satu penyebab terbesar inflasi adalah kenaikan harga pangan. Tingginya harga pangan disebabkan karena minimnya supply yang ada di pasar, sedangkan permintaannya tinggi.
Selama ini menurutnya, pemerintah selalu mengambil jalan pintas untuk menutupi kurangnya pasokan pangan, yaitu dengan jalan impor. Padahal cara ini hanya menimbulkan masalah baru, yaitu ikut menekan defisit neraca perdagangan atau current account deficit (CAD).
Selain berpengaruh terhadap CAD, mengimpor kebutuhan pangan juga rentan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Jika rupiah melemah, maka harga impor juga akan terkerek naik, ujungnya harga pangan juga naik.
Namun Enny melihat masalah pangan di Indonesia tak hanya soal subsidi yang rendah. Ia juga menilai minimnya infrastruktur untuk mendukung produksi pertanian juga ikut menjadi penyebabnya. “Anggaran untuk irigasi dan infrastrukturnya masih rendah juga,” ujar Enny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News