Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Di sisi lain, pemanfaatan data AEoI membuka peluang penerimaan pajak yang cukup besar. DJP mencatat, sampai dengan Juli 2019 jumlah partisipan AEoI yang terdaftar mencapai 98 yurisdiksi atau negara. Sedangkan, yurisdiksi tujuan pelaporan mencapai 82 negara.
Menurut Bawoni, pola penerimaan pajak tahun ini sama seperti sejak 2015-2018 yang secara siklus delapan bulan pertama baru mencapai sekitar 40%-57% atau di bawah target dengan potensi shortfall yang melebar.
Dia bilang dalam empat-lima tahun terakhir keadaan ekonomi Indonesia dalam posisi tertekan. Hanya saja, di tahun 2019 tekanan semakin parah karena penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan berada dalam tren menurun. Ini terjadi lantaran pelemahan harga komoditas akibat pertumbuhan ekonomi global yang melandai.
Baca Juga: Pro-kontra rencana revisi UU Ketenagakerjaan antara pengusaha dan buruh
Setali tiga uang, korporasi di sektor manufaktur dan konsumsi ikut tergerus karena daya beli yang kurang. Sehingga, laba atas perusahaan terkait semakin tipis. Alhasil setoran pajak jadi memble.
Meskipun begitu, Bawono melihat di tahun 2019 akses informasi lebih terbuka ketimbang 2015-2018. Ini menjadi peluang bagi DJP untuk mengejar target penerimaan pajak.
Masih dalam tren, Bawono mengamati saat injury time atau sekiranya tiga bulan terakhir penerimaan pajak semakin getol. DDTC memprediksi Oktober-Desember 2019, negara dapat menggenjot penerimaan pajak mencapai 7%-12% per bulan dari total target akhir tahun.
Baca Juga: Ekonomi melandai, Menkeu Sri Mulyani sarankan perusahaan meningkatkan efisiensi
Catatan Bawono, pemerintah harus memastikan pemanfaatan data dan informasi dapat berjalan lancar. Namun, dari sisi shortfall pajak DDTC menghitung bisa mencapai Rp 150 triliun-Rp 180 triliun di akhir tahun ini atau lebih lebar dari proyeksi pemerintah sebesar Rp 140 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News