Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerimaan pajak sepanjang di tahun ini tumbuh melambat. Di sisa waktu tiga bulan, pemerintah perlu berupaya mengejar target pendapatan utama negara tersebut.
Sepanjang Januari-Agustus 2019, penerimaan pajak mencapai Rp 801,16 triliun. Angka tersebut baru 50,78% dari target penerimaan pajak tahun 2019 sebesar Rp 1.577,56 triliun.
Bahkan, dari sisi pertumbuhan, dalam delapan bulan tersebut pertumbuhan penerimaan pajak hanya 0,21% jauh dari target sebesar 19%. Di sisi lain, realisasi kepatuhan formal di level 69,3% per akhir September.
Pengamat pajak Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan ada dua cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengejar penerimaan pajak.
Baca Juga: Manajer Aset Negara Kreatif, Inovatif, dan Mumpuni untuk Indonesia Lebih Sejahtera
Pertama, memanfaatkan akses informasi keuangan dalam negeri dari pihak ketiga. Kedua, pertukaran informasi keuangan otoritas dan instansi antar negara atau Automatic Exchange of Information (AEoI).
“Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak (WP), pemerintah perlu mengoptimalkan data yang sudah diterima serta menggali potensi yang ada,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Selasa (3/10).
Baca Juga: Sri Mulyani imbau perusahaan-perusahaan Indonesia waspada, apa yang terjadi?
Pemerintah pun bisa dibilang sudah cukup responsif dalam pemanfaatan data. Hal ini terbukti dengan didirikannya Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Direktorat Data Informasi Perpajakan dalam Direktorat Jendral Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemkeu).
Menurut Bawono dari kedua direktorat yang baru diresmikan pertengahan tahun ini, pemerintah dapat mengonfirmasi data yang diberikan dari pihak ketiga. Sehingga diharapkan dapat menguji tingkat kepatuhan WP.
Meski demikian, Bawono tidak memungkiri bahwa dalam prosesnya pengadaan data perpajakan belum terlalu optimal karena baru beroprasi sekitar dua bulan.
Di sisi lain, pemanfaatan data AEoI membuka peluang penerimaan pajak yang cukup besar. DJP mencatat, sampai dengan Juli 2019 jumlah partisipan AEoI yang terdaftar mencapai 98 yurisdiksi atau negara. Sedangkan, yurisdiksi tujuan pelaporan mencapai 82 negara.
Menurut Bawoni, pola penerimaan pajak tahun ini sama seperti sejak 2015-2018 yang secara siklus delapan bulan pertama baru mencapai sekitar 40%-57% atau di bawah target dengan potensi shortfall yang melebar.
Dia bilang dalam empat-lima tahun terakhir keadaan ekonomi Indonesia dalam posisi tertekan. Hanya saja, di tahun 2019 tekanan semakin parah karena penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan berada dalam tren menurun. Ini terjadi lantaran pelemahan harga komoditas akibat pertumbuhan ekonomi global yang melandai.
Baca Juga: Pro-kontra rencana revisi UU Ketenagakerjaan antara pengusaha dan buruh
Setali tiga uang, korporasi di sektor manufaktur dan konsumsi ikut tergerus karena daya beli yang kurang. Sehingga, laba atas perusahaan terkait semakin tipis. Alhasil setoran pajak jadi memble.
Meskipun begitu, Bawono melihat di tahun 2019 akses informasi lebih terbuka ketimbang 2015-2018. Ini menjadi peluang bagi DJP untuk mengejar target penerimaan pajak.
Masih dalam tren, Bawono mengamati saat injury time atau sekiranya tiga bulan terakhir penerimaan pajak semakin getol. DDTC memprediksi Oktober-Desember 2019, negara dapat menggenjot penerimaan pajak mencapai 7%-12% per bulan dari total target akhir tahun.
Baca Juga: Ekonomi melandai, Menkeu Sri Mulyani sarankan perusahaan meningkatkan efisiensi
Catatan Bawono, pemerintah harus memastikan pemanfaatan data dan informasi dapat berjalan lancar. Namun, dari sisi shortfall pajak DDTC menghitung bisa mencapai Rp 150 triliun-Rp 180 triliun di akhir tahun ini atau lebih lebar dari proyeksi pemerintah sebesar Rp 140 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News