kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.299.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.585   0,00   0,00%
  • IDX 8.258   6,92   0,08%
  • KOMPAS100 1.128   -3,16   -0,28%
  • LQ45 794   -6,53   -0,82%
  • ISSI 295   3,34   1,15%
  • IDX30 415   -3,30   -0,79%
  • IDXHIDIV20 467   -5,39   -1,14%
  • IDX80 124   -0,60   -0,48%
  • IDXV30 134   -0,53   -0,39%
  • IDXQ30 130   -1,48   -1,13%

Pemerintah Berencana Mengerek Rasio Pajak Hingga 12%, Pengamat Ingatkan Risikonya


Senin, 13 Oktober 2025 / 06:00 WIB
Pemerintah Berencana Mengerek Rasio Pajak Hingga 12%, Pengamat Ingatkan Risikonya
ILUSTRASI. Pemerintah target rasio pajak 12% dalam satu tahun. Simak berbagai tantangan ekonomi dan risiko dalam implementasinya.KONTAN/Panji Indra


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana menaikkan rasio pajak (tax ratio) hingga 12% dalam waktu satu tahun. Rencana ini dinilai terlalu ambisius dan sulit direalisasikan. 

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai rencana ini terasa mustahil mengingat kenaikan tax ratio tidak bisa dikejar secara instan tanpa memperhitungkan kapasitas ekonomi nasional.

“Saya kira jangan dipaksa ditargetkan demikian, karena hal itu akan berdampak pada kehati-hatian dalam pengelolaan negara. Konsekuensinya bisa mempengaruhi stabilitas makroekonomi dan iklim usaha,” ujar Fajry kepada Kontan, Minggu (12/10/2025).

Baca Juga: Pembentukan Badan Penerimaan Negara Bukan Solusi Instan Dongkrak Tax Ratio

Alih-alih mengerek tax ratio jadi 12%, Fajry memprediksi realisasi penerimaan pajak tahun ini tak akan tercapai.

"Hitungan saya akan ada kejutan realisasi penerimaan pajak tahun ini. Saya juga kaget, jauh lebih rendah dari realisasi tahun lalu. Hitung-hitungan saya terakhir, realisasi tahun ini jauh dari outlook Pemerintah," ungkapnya.

Menurut Fajry, penetapan target penerimaan pajak seharusnya dilakukan secara bottom-up, berdasarkan potensi riil di lapangan, bukan dengan pendekatan top-down yang didorong oleh kebutuhan belanja pemerintah.

“Jangan sampai target pajak ditetapkan hanya untuk memenuhi kebutuhan spending pemerintah, apalagi bila berkaitan dengan pembiayaan program politik yang butuh anggaran besar. Kalau begitu, risikonya bisa muncul praktik pemungutan pajak yang agresif bahkan abusive di lapangan,” tegasnya.

Fajry juga menyoroti wacana pemerintah untuk memperluas basis pajak dengan memajaki sektor shadow economy atau ekonomi informal. Ia menilai langkah tersebut tidak bisa dilakukan secara cepat karena karakter sektor tersebut yang hard-to-tax.

“Kalau kita ingin memajaki shadow economy atau ekonomi informal, itu butuh waktu. Sektor ini dikenal sebagai sektor yang sulit untuk dipajaki,” jelasnya.

Baca Juga: Purbaya Akan Beri Reward bagi Pegawai DJP Jika Tax Ratio Tembus 12%

Fajry menekankan, di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, fokus pemerintah seharusnya bukan menaikkan target pajak, tetapi mendorong peran sektor swasta untuk memperkuat basis ekonomi.

“Merekalah basis penerimaan pajak kita. Kalau basis ekonominya naik, otomatis penerimaan pajak akan ikut meningkat,” ujarnya.

Ada dua langkah yang disarankan Fajry untuk memperkuat fondasi ekonomi, pertama memberikan kepastian kepada dunia usaha di tengah ketidakpastian global yang sedang tinggi, jika tidak maka pelaku usaha enggan berinvestasi. "Tak heran jika undisbursed loan masih tinggi,” katanya.

Kedua, memberi ruang bagi swasta untuk bergerak. Menurutnya, aturan yang mengekang pelaku usaha perlu dicabut. "Kalau swasta dikekang, ekonomi sulit tumbuh, dan penerimaan pajak ikut mandek,” tambahnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai peluang tax ratio mencapai 12% masih terbuka, meski tantangannya besar. Ia menjelaskan, peningkatan penerimaan pajak dapat ditempuh melalui dua strategi utama yakni intensifikasi dan ekstensifikasi.

Intensifikasi dilakukan dengan memperkuat pengawasan kepatuhan material melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan Keterangan (SP2DK), pemeriksaan pajak, hingga pemeriksaan bukti permulaan. Kemudian ekstensifikasi dilakukan dengan menambah jumlah wajib pajak (WP) baru, termasuk dari sektor ekonomi bawah tanah.

Menurut Prianto, strategi tersebut berpotensi efektif jika didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang membaik. Apalagi pemerintah tengah menggelontorkan Rp 200 triliun untuk mendorong kegiatan ekonomi riil.

“Dengan ekonomi yang tumbuh, laba usaha meningkat sehingga PPN dan PPh badan juga naik,” ujar Prianto.

Prianto menilai target penerimaan pajak tahun depan sebesar Rp 2.357,7 triliun masih realistis karena disusun dengan pendekatan bottom-up dari seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di Indonesia.

“Pendekatan bottom-up ini lebih realistis karena langsung berasal dari garda terdepan petugas pajak di KPP,” pungkasnya.

Selanjutnya: Rahasia Uang Tumbuh Sendiri, Pahami Compound Interest dari Sekarang

Menarik Dibaca: 8 Tren Lantai 2026 yang Diprediksi Desainer akan Menguasai Dunia Interior Rumah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU

[X]
×