Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Moody’s Ratings memberi peringkat Baa2 untuk sukuk wakalah senior tanpa jaminan berdenominasi dolar AS yang diterbitkan Pemerintah Indonesia melalui Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia III (PPSI III). Nilai program penerbitan sukuk senior tanpa jaminan senilai US$ 45 miliar setara dengan Rp 733,5 triliun (dengan kurs Rp 16.300 per dollar AS).
Peringkat ini berlaku untuk semua penerbitan dalam berbagai tranche. Berdasarkan ketentuan dan syarat yang tersedia, sertifikat wakalah ini merupakan kewajiban langsung, tanpa syarat, dan tidak subordinat dari Pemerintah Indonesia sebagai penerbit. "Menurut penilaian kami, kewajiban pembayaran atas surat berharga yang diterbitkan PPSI III memiliki peringkat yang setara (pari passu) dengan seluruh utang luar negeri senior tanpa jaminan yang ada maupun yang akan diterbitkan oleh penerbit," jelas Martin Petch VP Senior Credit Officcer Moody's Investors Services dalam rilis Kamis (17/7).
Sebagian hasil penerbitan sukuk akan digunakan untuk pembiayaan umum. Selain itu, pemerintah berencana untuk menggunakan hasil bersih dari tranche hijau yang direncanakan guna membiayai atau membiayai kembali pengeluaran yang langsung berkaitan dengan 'Belanja Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang Layak dengan Fokus Hijau dan Biru' sebagaimana didefinisikan dalam kerangka kerja TPB pemerintah.
Baca Juga: Genjot Pembiayaan Berkelanjutan, BSI Terbitkan Sustainability Sukuk Rp 5 Triliun
Peringkat ini mencerminkan peringkat issuer jangka panjang Pemerintah Indonesia yang saat ini berada pada Baa2 dengan prospek stabil. "Kami mencatat bahwa peringkat sukuk yang kami berikan tidak mencerminkan pandangan kami terhadap kepatuhan struktur penerbitan terhadap hukum syariah," jelas Petch dalam rilis.
Moody's juga memaparkan jika peringkat Baa2 Indonesia didukung ketahanan ekonomi serta faktor struktural seperti kekayaan sumber daya alam dan demografi yang kuat, serta pertumbuhan PDB yang stabil dan solid. Peringkat ini juga diperkuat kebijakan fiskal dan moneter yang hati-hati, fokus pada disiplin anggaran, kesinambungan kebijakan, dan stabilitas makroekonomi. Sebagai eksportir utama batu bara, bahan bakar fosil, dan minyak sawit, Indonesia tetap memiliki risiko transisi karbon.
"Kami memperkirakan pertumbuhan PDB riil Indonesia rata-rata sekitar 4,7% pada tahun 2025 dan 2026, mencerminkan konsumsi domestik yang stabil namun dibayangi ketidakpastian investasi," ujar Petch. Volatilitas harga komoditas global dan tarif AS menambah risiko negatif, diperparah lambatnya penyerapan anggaran pemerintah pada paruh pertama tahun ini, yang mendorong peluncuran paket stimulus ekonomi pada Juni 2025.
"Kami memproyeksikan beban utang pemerintah akan tetap stabil di sekitar 40% dari PDB, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara sepadan," kata Petch. Namun, peringkat Baa2 juga mempertimbangkan kelemahan dalam indikator fiskal Indonesia secara umum. Khususnya, kemampuan pemerintah membayar utang (debt affordability) terbebani oleh basis pendapatan yang rendah, yang juga dapat terpengaruh oleh pembatalan kenaikan tarif PPN awal tahun ini dan kemungkinan pengalihan dividen BUMN ke dana kekayaan negara baru, Danantara.
"Kami mengasumsikan disiplin fiskal akan tetap terjaga, sebagaimana tercermin dalam komitmen pemerintah untuk menjaga defisit di bawah 3% dari PDB, yang mendukung stabilisasi beban utang pada level saat ini, meski ada ketidakpastian atas efektivitas pemerintahan sekarang dan mendatang dalam meningkatkan penerimaan negara," papar Moody's.
Baca Juga: Anak Usaha WIFI Tutup Penawaran Obligasi dan Sukuk Senilai Rp 2,5 Triliun
Meskipun porsi utang pemerintah Indonesia dalam mata uang asing yang cukup besar yakni sekitar 28% dari total, Indonesia menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dibandingkan negara sepadan, peningkatan cadangan devisa, perluasan instrumen kebijakan, dan pendalaman pasar utang domestik telah mengurangi kerentanan eksternal, serta menurunkan proporsi utang valas sejak tahun 2020.
Prospek stabil mencerminkan keseimbangan antara risiko naik dan turun. Risiko naik berasal dari upaya yang terus dilakukan untuk memperluas skala dan daya saing sektor manufaktur, yang dapat mendorong pertumbuhan PDB yang lebih tinggi dan berkelanjutan menuju level pendapatan yang lebih tinggi dari asumsi saat ini.
"Sebaliknya, risiko penurunan termasuk potensi ketidakpastian kebijakan akibat transisi politik, yang dapat melemahkan kinerja pertumbuhan akibat penurunan investasi asing dan dampak negatif terhadap indikator fiskal. Selain itu, kurangnya perluasan basis pajak dapat mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk kebijakan dan mengatasi guncangan ekonomi," pendapat Moody's
Selanjutnya: 3 Alasan Mengapa Dana BSU 2025 Belum Cair Meski Sudah Lolos Verifikasi
Menarik Dibaca: Jadwal Baru KRL Jogja-Solo pada Jumat 18 Juli 2025, Cek Jam Paling Malam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News