kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menurut Bappenas, ini tantangan untuk memenuhi target dalam RPJMN 2020-2024


Kamis, 27 Juni 2019 / 14:25 WIB
Menurut Bappenas, ini tantangan untuk memenuhi target dalam RPJMN 2020-2024


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Target pertumbuhan ekonomi pemerintah untuk tahun 2020-2024 sepertinya tidak seoptimistis periode 2015-2019. Pasalnya dalam rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 pemerintah menargetkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam rentang 5,4% hingga 6%. 

Angka tersebut lebih rendah dari target RPJMN 2019 yang ada di rentang 5,8% hingga 8%. 

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan target tersebut disesuaikan dengan pengaruh global dan perkembangan ekonomi domestik. 

"Tetap optimal dan rasional," jelas Bambang, Kamis (27/6). 

Adapun kondisi ekonomi dalam negeri yang masih akan menghambat pertumbuhan ekonomi 2020-2024 untuk bisa melaju lebih tinggi antara lain rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya pada kisaran 5,3% selepas dari krisis ekonomi 1998. 

Bahkan dalam empat tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan pada kisaran 5%. Dengan tingkat pertumbuhan tersebut, sulit bagi Indonesia untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi atau mengejar ketertinggalan dari sisi pendapatan per kapita.

"Stagnannya pertumbuhan ekonomi disebabkan utamanya oleh tingkat produktivitas yang rendah seiring tidak berjalannya transformasi struktural," seperti tertulis dalam dokumen yang dikutip Kontan.co.id. 

Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat produktivitas adalah regulasi yang tumpang tindih dan birokrasi yang menghambat, sistem dan besarnya penerimaan pajak belum cukup memadai, dan kualitas infrastruktur yang masih rendah terutama konektivitas dan energi.

Selain itu juga karena rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan produktivitas tenaga kerja, intermediasi sektor keuangan rendah dan pasar keuangan yang dangkal, sistem inovasi yang tidak efektif dan keterkaitan hulu-hilir yang lemah. 

Defisit transaksi berjalan yang meningkat juga menjadi tantangan lain. Di tengah kondisi keuangan global yang ketat, peningkatan defisit transaksi berjalan menjadi penghambat bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. 

Apalagi saat ini industri pengolahan tidak berkembang sehingga mempengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia. "Hingga saat ini ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas dengan jasa transportasi asing, tidak berbeda dengan 40 tahun yang lalu," tulis dokumen tersebut. 

Rasio ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun dari 41% pada tahun 2000 menjadi 21% pada tahun 2018. Akibatnya Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan hingga mencapai 3% dari PDB, sementara negara lain yang selevel sudah mencatatkan surplus. 

Pada tahun lalu, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai 2,98% dari PDB atau sebesar US$ 31,1 miliar. 

Di sisi lain, revolusi industri 4.0 dan ekonomi digital turut jadi perhatian. Dunia tengah memasuki era revolusi industri 4.0 dan ekonomi digital. Kondisi ini sebenarnya memberi peluang untuk meningkatkan produktivitas. Namun di sisi lain, perkembangan revolusi 4.0 berpotensi menyebabkan hilangnya pekerjaan di dunia. 

Di Indonesia sendiri diperkirakan 51,8% potensi pekerjaan yang akan hilang. Di samping itu, tumbuhnya aktivitas bisnis berbasis online belum dibarengi upaya pengoptimalan penerimaan negara serta pengawasan kepatuhan pajak atas transaksi tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×