kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengoreksi Arah Pembangunan Ekonomi RI


Rabu, 23 April 2014 / 15:52 WIB
Mengoreksi Arah Pembangunan Ekonomi RI
ILUSTRASI. Cuaca cerah di DKI Jakarta dan sekitarnya. BMKG memprediksi cuaca hari ini cerah sedikit berawan. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/13/02/2019


Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris

Pengantar

Artikel opini ini telah terbit di Harian KONTAN, Rabu, 23 April 2014. Redaksi menurunkannya di Kontan.co.id untuk menjangkau pembaca yang lebih banyak lagi. Selamat membaca.

Koreksi Arah Pembangunan Ekonomi

Khudori,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

Ketika negara lain bergulat dengan persoalan ekonomi mereka, ekonomi Indonesia berjalan relatif baik. Secara makro, rapor ekonomi Indonesia biru. Ini ditandai pertumbuhan ekonomi yang selalu positif, inflasi yang terjaga, indeks harga saham gabungan yang terus menggeliat, dan nilai tukar yang relatif terkendali. PDB Indonesia juga terus membesar, saat ini menempati urutan ke-16 dunia, dan bersanding dengan nagara-negara maju dalam G-20. Di mata dunia, posisi Indonesia semakin penting.

Kekayaan sumber daya alam dan tenaga kerja yang melimpah membuat Indonesia berpotensi menjadi basis produksi dunia yang kompetitif. Dengan jumlah penduduk yang besar, dan jumlah kelas menengah yang tumbuh meraksasa membuat Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan bagi siapapun juga.

Namun, di balik rapor biru itu ada sejumlah paradoks mencemaskan. Pertama, meski PDB Indonesia di rangking 16 dunia, tapi PDB per kapita itu menempati urutan ke-126 (US$ 4.900). Angka ini jauh dari Malaysia (rangking 59 dengan US$16.800), Thailand (92, US$9.500), China (93, US$ 9.000), dan Sri Lanka (116, US$6.000).

Kedua, kesenjangan pendapatan. Distribusi pendapatan menunjukkan porsi pendapatan 40% masyarakat dengan pendapatan terendah menurun, dari 20,22% (2005) jadi 16,86% (2011). Pada saat sama, pendapatan 20% masyarakat berpendapatan tertinggi naik dari 42,09% menjadi 48,41%. Dengan indikator rasio gini, kecenderungannya sama. Dalam satu dasawarsa terakhir, rasio gini meningkat, dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2013).

Ketiga, jumlah kemiskinan yang besar. Per September 2013 warga miskin capai 28,55 juta (11,47%). Bila penduduk mendekati miskin dan rentan terhadap kenaikan harga makanan (pengeluaran 1,2 kali garis kemiskinan) dihitung, jumlahnya menjadi 57,14 juta jiwa (2011). Bila menggunakan indikator Bank Dunia, sekitar 40% penduduk tergolong near poor, maka jumlah warga miskin mencapai 100 juta jiwa.

Sejak dulu, kemiskinan terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976, jumlah penduduk miskin perdesaan 44,2 juta orang atau 81,5% dari total penduduk miskin. Lebih 35 tahun kemudian, angka ini hanya mengalami sedikit perbaikan. Walaupun secara agregat kemiskinan turun, persentase jumlah orang miskin di perdesaan tetap tinggi: mencapai 63,4% (18,48 juta) dari jumlah warga miskin. Ini merupakan fakta getir karena pembangunan justru meminggirkan warga perdesaan. Puluhan tahun pembangunan ternyata kemiskinan tak beranjak jauh dari desa.

Jalan yang keliru

Keempat, kesenjangan yang lebar antara perkotaan dan perdesaan. Daerah perkotaan yang didominasi aneka kegiatan ekonomi modern, serta tumbuh lebih cepat dari daerah perdesaan yang didominasi kegiatan ekonomi tradisional, seperti sektor pertanian dan pertambangan-penggalian. Selama bertahun-tahun, pertumbuhan sektor pertanian amat rendah, di bawah rata-rata nasional. Juga jauh di bawah pertumbuhan sektor transportasi dan komunikasi, perdagangan, hotel dan restoran, keuangan, dan real estate. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional di 2012 hanya 14%. Padahal, sektor ini menampung 41% total tenaga kerja. Pertanian kian involutif yang ditandai masifnya kemiskinan di desa.

Benar saat ini sekitar 94% angkatan kerja telah “bekerja”, dan bahkan 68% dari mereka bekerja penuh waktu (>35 jam per minggu). Namun, sebagian besar mereka terserap di sektor informal yang berpendapatan rendah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak beriringan dengan penciptaan lapangan kerja baru. Saat Orde Baru, tiap 1% pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan lebih 400.000 lapangan kerja. Pada 2011 dan 2012, lapangan kerja yang tercipta hanya 235.000 dan 196.000.

Memang selalu ada apologi: kesenjangan pendapatan biasa terjadi tahap awal pembangunan. Namun, bagi Indonesia argumen ini sulit diterima. Gemuruh pembangunan sudah dimulai 1960-an, bersamaan dengan Malaysia, Singapura dan Korea Selatan. Saat itu, ekonomi Indonesia lebih baik dari Malaysia. Bahkan dengan Korea Selatan hampir sama. Dengan Jepang tidak ketinggalan jauh. Pada 1960 Indonesia dan Korea Selatan memiliki pendapatan per kapita US$ 100. Kini Korea jauh meninggalkan Indonesia, dengan pendapatan per kapita US$31.000, enam kali pencapaian Indonesia. Tentu ada yang salah pada desain dan arah pembangunan ekonomi Indonesia.

Tak ada salahnya menengok China yang memulai pembangunan ekonomi pada 1980 berhasil menekan angka kemiskinan drastis: dari 64% (1981) tinggal 7% (2007). Tak hanya berhasil mengurangi jumlah orang miskin, di kurun waktu itu China juga berhasil membawa 65% penduduknya menjadi kelompok kelas menengah dan menengah atas. Sebaliknya, meski anggaran antikemiskinan, naik berlipat-lipat, Indonesia cuma bisa menekan angka kemiskinan 4-5%. Kelas menengah yang dicetak hanya 10,6%.

Banyak strategi yang ditempuh China. Salah satu yang patut dicatat adalah upaya kerasnya dalam menciptakan lapangan kerja berkelanjutan. China mengawali pembangunan dengan membangun desa, khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di perdesaan, pembangunan pertanian jadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan SDM berpendidikan dan berketerampilan tinggi. Saat ini 65% penduduk miskin Indonesia di perdesaan, dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian.

Pengalaman itu seharusnya meyakinkan kita jalan yang selama ini ditempuh keliru. Kue ekonomi bergeser ke industri dan jasa, tapi tidak diikuti oleh pergeseran tenaga kerja. Akibatnya, tenaga kerja menumpuk di sektor pertanian. Transformasi struktural ekonomi hanya akan terjadi apabila ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradeable (sektor keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran) yang padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradeable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Model pembangunan Indonesia saat ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marjinalisasi ekonomi perdesaan dan pertanian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×