Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Potensi menurunnya suku bunga di beberapa negara utama global seperti Amerika Serikat (AS) akan membawa kabar baik bagi Indonesia, utamanya dalam penerbitan obligasi global.
Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai, menurunnya suku bunga negara-negara utama global tentunya akan mempengaruhi suku bunga acuan secara umum. Sehingga untuk negara emerging market seperti Indonesia akan terbuka peluang, untuk turut menyesuaikan penurunan suku bunga acuan.
Menurutnya, jika suku bunga acuan Bank Indonesia turun, maka biaya penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi lebih murah, atau imbal hasil yang diberikan menjadi lebih rendah.
Baca Juga: Pemerintah Tarik Utang Baru Lebih Banyak di Awal Tahun, Ini Alasannya
“Ini tentu menjadi angin segar bagi pemerintah yang ingin menerbitkan surat utang dan juga bagi swasta yang juga mencari sumber pendanaan melalui penerbitan obligasi di dalam negeri dan juga global,” tutur Yusuf kepada Kontan, Kamis (21/3).
Meski begitu, Yusuf menilai, dalam menentukan kebijakan suku bunga dalam negeri, Bank Indonesia tidak hanya dinilai berdasarkan kondisi suku bunga global saja. Melainkan dengan mempertimbangkan kondisi inflasi dalam negeri.
Kondisi inflasi juga, sambung Yusuf akan turut mempengaruhi rencana penerbitan surat utang pemerintah. Jadi, jika inflasi masih relatif fluktuatif dan tidak stabil, maka kecil kemungkinan Bank Indonesia akan melakukan penyesuaian kebijakan suku bunga acuan.
Maka dari itu, Yusuf menilai pemerintah tidak perlu melakukan penyesuaian yang terlalu kompleks untuk merespons perubahan suku bunga global terhadap rencana penerbitan surat utang, baik itu penerbitan global dan dalam negeri.
Baca Juga: Bank Lebih Pilih Pacu Kredit Ketimbang Memupuk Dana di SBN
Ia menambahkan, pemerintah bisa menyesuaikan penerbitan surat utang global saat kondisi inflasi sudah cenderung stabil. Setidaknya bisa ditinjau setelah momentum Lebaran ataupun pada semester II tahun ini.
“Dalam jangka pendek dan prospek yang lebih baik dengan inflasi stabil tentu akan memudahkan pemerintah dalam menarik atau menerbitkan surat utang global,” jelasnya.
Untuk diketahui, tahun ini pemerintah berencana menarik utang senilai Rp 648,1 triliun. Dari total pembiayaan utang tersebut terdiri dari SBN neto yang paling mendominasi sebesar Rp 666,4 triliun.
Baca Juga: Ekonom Perkirakan BI Perlu Jaga Suku Bunga Acuan di Level 6%
Sejauh ini total utang pemerintah dalam denominasi valas terus menurun. Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto menjelaskan, per 31 Desember 2023, porsi utang pemerintah dalam valas mencapai 28,27%, turun dibanding tren lima tahun terakhir.
Ia memerinci, porsi utang valas pemerintah pernah mencapai 40,97% pada tahun 2019. Lalu, turun menjadi 33,57% pada tahun 2020, 30,05% pada tahun 2021, dan 29,61% pada tahun 2022.
Sementara itu, dari sisi pinjaman, tahun ini direncanakan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 636,2 miliar dan pinjaman luar negeri Rp 17,7 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News