Reporter: Dian Sari Pertiwi | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Utang pemerintah terus meningkat secara agresif sejak tahun 2015. Peningkatan utang ini diklaim karena kebutuhan belanja infrastruktur yang jadi prioritas kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Saat ini, utang pemerintah melonjak dari Rp 3.165,13 triliun pada 2015 menjadi Rp 3.466,96 triliun pada 2017. Peningkatan utang ini tak berhenti begitu saja. Pada APBN 2018 angkanya mencapai Rp 4.772 triliun.
Komposisi utang pemerintah berbentuk Surat Berharga Negara (SBN) atau obligasi sebesar 67,4%, sementara 32,6% sisanya utang berbentuk non sekuritas atau pinjaman langsung dari negara lain atau lembaga keuangan internasional. Berbanding terbalik dengan kondisi utang di tahun 2010, 63,7% merupakan utang non sekuritas dan sisanya 36,3% adalah berbentuk surat utang yang diperdagangkan oleh pasar secara bebas.
Ekonom Institute for Development Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri menilai membangun infrastruktur dengan cara menerbitkan surat utang dapat menyebabkan ketidakstabilan kondisi ekonomi. Terlebih SBN yang dimiliki asing terus mendominasi sejak 2014. Saat ini, total SBN yang dipegang asing sudah mencapai 39,5%.
Utang dalam bentuk obligasi dengan porsi kepemilikan asing lebih tinggi juga dapat meningkatkan volatilitas nilai tukar rupiah. Sebab, saat perekonomian global mengalami tekanan, potensi arus modal keluar (capital outflow) akan meningkat dan membuat mata uang rupiah semakin berfluktuasi.
"Karena bergantung dengan pasar dan pasar tak bisa diprediksi, saat The FED menaikkan suku bunga, bisa saja mereka beralih dan keluar," ujar Faisal, Rabu (21/3).
Dia menambahkan, berutang dalam membangun infrastruktur dengan mekanisme menerbitkan surat utang juga bisa membuat beban utang jadi jauh lebih tinggi. Sebab, dalam penerbitan SBN biasanya jangka waktu lebih pendek dengan suku bunga lebih tinggi.
Biasanya surat utang bertenor hanya lima tahun sampai 10 tahun saja. Begitu juga dengan bunga utang yang berkisar di angka 6% sampai 8%.
Lain halnya jika meminjam dana pembangunan lewat skema utang luar negeri (non sekuritas). "Secara suku bunga utang luar negeri lebih rendah dan dibayar dengan jangka waktu lebih panjang, tapi memang lebih mengikat dan banyak syaratnya mungkin ini jadi alasan pemerintah kenapa memilih menerbitkan SBN," kata Faisal.
Faisal juga mencatat, biasanya pembangunan infrastruktur dengan skema utang luar negeri jauh lebih transparan karena utang tersebut langsung disalurkan langsung kepada kontraktor untuk pembangunan dan memiliki pengawasan ketat. "Kita lihat pembangunan MRT (Massive Rapid Transportation, red) dari Jepang, tidak molor dan tidak ada kecelakaan kerja seperti yang terjadi pada kontraktor dalam negeri," ujar dia.
Di saat yang sama, pengeluaran untuk membiayai infrastruktur tak berbanding lurus dengan pendapatan. Beberapa proyek infrastruktur yang sudah berhasil dibangun tak menghasilkan pendapatan cepat dalam waktu singkat untuk membayar utang obligasi di tenor pendek. Contohnya, tol Bekasi-Cawang-Kalimalang-Kampung Melayu (Becakayu) yang masih sepi peminat.
Utang jangka pendek seharusnya dialihkan untuk membiayai sektor produktif seperti membangun sumber daya manusia dan membangun industri untuk menghasilkan barang yang memiliki nilai tambah dan dapat diperjualbelikan. Seperti Korea Selatan yang memiliki orientasi ekonomi pada peningkatan ekspor.
Faisal bilang, penguatan infrastruktur seharusnya melihat kekuatan Indonesia sebagai negara maritim. "Semahal-mahalnya biaya logistik adalah pengiriman lewat darat menggunakan truk, tapi justru ini yang mau diperkuat dengan bangun banyak jalan tol, akibatnya biaya logistik juga tidak kompetitif dan tetap menekan sektor riil," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News