Reporter: Benedictus Bina Naratama, Fahriyadi | Editor: Uji Agung Santosa
Adanya Peraturan Pemerintah (PP) Pertanahan sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Pemerintah Aceh menimbulkan kekhawatiran. Jika aturan ini terbit, maka beleid itu bisa menjadi dasar hukum pelimpahan kewenangan atas tanah yang beralih dari tangan pemerintah pusat menjadi pemerintah daerah.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil langkah yang mengejutkan dengan meneruskan rencana pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) yang dirancang pemerintah sebelumnya tentang penyerahan urusan pertanahan Aceh kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh.
Kebijakan ini mengkhawatirkan karena dianggap sebagai kebijakan yang menabrak Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin menyatakan, pemerintah harus taat pada konstitusi yang menegaskan urusan pertanahan, termasuk lembaga pertanahannya seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun nama barunya, Kementerian Agraria, adalah bersifat terpusat dan vertikal.
Selama ini, urusan tanah yang diserahkan kepada daerah sudah cukup banyak. Seperti izin lokasi, tata ruang, dan rekomendasi izin eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA). "Jika layanan BPN juga diserahkan ke pemerintah daerah, di sana akan muncul bibit disintegrasi yang utama," ujarnya, Minggu (14/12).
Ketentuan pasal 33 UUD 1945 tidak boleh diselewengkan atas nama otonomi daerah dan khusus. Negara harus melindungi hak atas tanah dan menciptakan kepastian hukum agar daerah lain tak menuntut hal serupa.
Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria belum mengetahui dampak pelimpahan wewenang ini. Pasalnya, DPR saat ini masih menunggu restrukturisasi organisasi BPN menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Rencana pelimpahan wewenang pertanahan ke Pemprov Aceh diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil. Sofyan bilang, akhir Desember, beleid turunan UU Pemerintah Aceh tersebut akan diteken oleh Presiden Jokowi.
Dia mengungkapkan, subtansi di UU Pemerintah Aceh adalah mengenai perlu adanya aturan pelaksana agraria atau pertanahan dalam UU Aceh. Pemerintah Aceh ingin agar wewenang BPN dilimpahkan ke Pemprov Aceh dengan payung hukum itu. "Sebenarnya, UU Otonomi Daerah pada umumnya sudah seperti itu, tapi selama ini dilaksanakan oleh BPN. Tapi, di Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Tidak ada masalah, karena sudah disetujui," ujarnya.
Kendati demikian, semua standar, prosedur, ketentuan, dan norma mengenai tanah yang sebelumnya menjadi wewenang BPN tetap akan diatur oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya bertugas melaksanakannya saja. Jadi, wewenang seperti memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau hak milik atas tanah tetap berada di pemerintah pusat.
Gubernur Aceh, Zaini Abdullah berharap UU Pemerintah Aceh dapat segera diimplementasikan sesuai yang dijanjikan pemerintah. Saat ini tim teknis juga sudah siap untuk melaksanakan beleid ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News