Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja ekspor Indonesia diprediksi menurun seiring pelemahan ekonomi global. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan, ketidakpastian global yang dipicu konflik geopolitik dan kebijakan fiskal negara maju berisiko menekan kinerja ekspor nasional.
Pelemahan manufaktur global terindikasi dari Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur global pada Mei 2025 turun ke level 49,6, menjadi yang terendah sejak Desember 2024. Indonesia bahkan mencatatkan PMI sebesar 47,4, menunjukkan tren kontraksi.
Pada Mei 2025, Sri Mulyani mencatat, sebanyak 70,8% negara yang disurvei mengalami kontraksi manufaktur. Kemudian, hanya 29,2% negara yang masih berada dalam fase ekspansi manufaktur, seperti India, Arab Saudi, AS, Australia, Tusia, dan Filipina.
Artinya, lanjut Sri Mulyani, mayoritas aktivitas manufaktur dunia saat ini sedang menurun. Ini merupakan dampak dari ketidakpastian geopolitik dan keamanan global yang semakin rapuh, sehingga turut memengaruhi aktivitas ekspor-impor, sektor manufaktur, dan arus modal keluar (capital outflow) di seluruh dunia.
Baca Juga: Sri Mulyani Tambah Investasi Rp 1,76 Triliun ke Lembaga Keuangan Internasional
Menurut Sri Mulyani, situasi ini akan berdampak langsung pada permintaan barang dari luar negeri, termasuk produk ekspor Indonesia.
“Risiko bagi Indonesia juga patut diwaspadai. Melemahnya ekonomi global akan berdampak pada barang-barang ekspor Indonesia. Harga komoditas memang ada yang meningkat tajam, tetapi bukan karena faktor supply-demand, melainkan akibat disrupsi,” ungkapnya dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (17/6).
Sri Mulyani menegaskan, tekanan global tidak hanya berasal dari sisi permintaan, tetapi juga dari sisi fiskal negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Ketegangan geopolitik turut memperburuk sentimen pasar terhadap perdagangan internasional.
“Inilah kombinasi yang harus kita waspadai, karena sangat berisiko. Pelemahan ekonomi berdampak buruk, sementara kenaikan inflasi mendorong naiknya imbal hasil (yield) obligasi,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, Sri Mulyani juga turut menyoroti dampak terhadap nilai tukar rupiah yang juga cenderung mengalami volatilotas, serta suku bunga utang meningkat sebagai dampak dari kebijakan fiskal AS, yakni legislasi ekspansi fiskal yang saat ini sedang dibahas dari Kongres ke Senat AS.
Baca Juga: Sri Mulyani Bantah Deflasi Mei 2025 Disebabkan Daya Beli Lesu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News