Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKLARTA. Iklim usaha yang sehat tidak cukup dijaga hanya dengan aturan. Namun membutuhkan pemahaman tepat dari pelaku usaha terhadap batas-batas persaingan yang wajar.
Di tengah dinamika industri yang kian kompetitif, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kembali mengingatkan, fokus utama pengawasan bukan pada siapa yang kalah atau menang, tetapi bagaimana proses persaingan itu berlangsung.
Perlindungan terhadap proses persaingan usaha yang adil dan sehat menjadi pondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas
Komisioner KPPU, Moh. Noor Rofieq menyampaikan, filosofi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat pada pokoknya adalah melindungi proses persaingan itu sendiri, dan bukan melindungi pesaing.
“Jadi kami melihat bagaimana pelaku usaha itu membangun bisnisnya secara wajar, dan tanpa ada pelanggaran,” kata Noor Rofieq., dalam keterangannya, Jumat (21/11).
Baca Juga: KPPU Usul Revisi UU Antimonopoli, Singgung Soal AI
Menurutnya, dalam menilai persaingan usaha, KPPU mempertimbangkan terutama konteks bisnis, tidak hanya dari aspek legal semata. Misalnya saja, KPPU tidak serta merta menilai suatu praktik bisnis melanggar hukum hanya karena harga terlihat sama atau paralel.
Pendekatan KPPU, lanjutnya, selalu melihat konteks bisnis secara praktis, tidak hanya dari aspek legalistik semata. KPPU mengelompokkan risiko pelanggaran ke dalam tiga aspek utama pada bisnis.
Pada aspek produksi, umpamanya, pelanggaran dapat terjadi jika pelaku usaha mengatur volume produksi tidak untuk efisiensi, tetapi dengan sengaja menguasai sumber daya atau mempengaruhi pasar.
Baca Juga: KPPU Putus Kimia Farma Diagnostika Tak Bersalah Terkait Dugaan Pelanggaran Kemitraan
Ada pula aspek pemasaran dan harga yang kerap menjadi sorotan seiring isu pricing. Menurut Noor Rofieq, KPPU tidak serta-merta menilai harga tinggi sebagai pelanggaran. Sebab, faktor-faktor seperti internal rate of return (IRR), return on investment (ROI) dan biaya untuk industri yang padat modal akan diperhitungkan.
Namun, praktik pelanggaran perpajakan yang berujung pada biaya produksi tidak wajar dapat menjadi pintu masuk bagi dugaan pelanggaran UU No. 5/1999.
Aspek lain yakni distribusi atau channeling. Dalam konteks ini, Noor Rofieq mengingatkan pelaku usaha untuk berhati-hati dalam mengganti distributor, serta memastikan tidak ada unsur diskriminasi atau kesengajaan untuk menyingkirkan pihak tertentu. Contoh diskriminasi yang dapat terjadi adalah perbedaan tempo pembayaran.
Dengan pemahaman yang baik, dunia usaha dapat tumbuh dan berinovasi tanpa khawatir melanggar rambu-rambu hukum persaingan usaha.
Selanjutnya: Toyota Optimistis GJAW 2025: Veloz Hybrid Jadi Magnet Penjualan
Menarik Dibaca: Ekspor UMKM Indonesia ke Eropa Melesat 87%: Ini Kuncinya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













