Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - Masyarakat sipil antikorupsi mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan kembali surat perintah penyidikan (sprindik) terhadap Setya Novanto. Masyarakat antikorupsi itu meminta KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka.
Dukungan terhadap KPK tersebut disampaikan masyarakat antikorupsi saat menggelar aksi di lokasi car free day, Bundaran HI, Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (1/10).
"Kami mendorong KPK terbitkan sprindik baru buat SN, agar SN segera diadili dan ditahan," ujar Tibiko Jabbar, seorang peserta aksi masyarakat antikrupsi.
Aktivis dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut menilai, Novanto menggunakan cara klasik untuk menghindari proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. Novanto dinilai telah merencanakan strategi untuk meloloskan diri dari jerat hukum.
"Kasus yang seharusnya menjerat SN bukan hanya e-KTP. Banyak kasus yang sampai saat ini diungkap. SN ibarat belut yang kena oli, dia lolos lagi," kata Tibiko.
Dalam aksi ini, massa menggunakan pakaian serba hitam. Mereka mengungkapkan rasa kecewa atas putusan praperadilan yang membebaskan Novanto dari status tersangka.
Para peserta aksi mengangkat poster berisi dukungan terhadap KPK. Salah satu poster bertuliskan "Sprindik Baru buat Papa".
Dalam sidang putusan praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (30/9), hakim tunggal Cepi Iskandar menilai penetapan tersangka Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah.
KPK pun diminta untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya.
Ada sejumlah pertimbangan yang mendasari Hakim Cepi membuat putusan tersebut.
Pertama, Cepi menilai penetapan tersangka Novanto oleh KPK sudah dilakukan di awal penyidikan. Menurut Cepi, harusnya penetapan tersangka dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara. Hal itu untuk menjaga harkat dan martabat seseorang.
Selain itu, Cepi juga menilai alat bukti yang diajukan berasal dari penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis bersalah melakukan korupsi E-KTP.
Menurut Cepi, alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya. (Abba Gabrillin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News