CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.364.000   21.000   0,90%
  • USD/IDR 16.757   28,00   0,17%
  • IDX 8.420   13,34   0,16%
  • KOMPAS100 1.164   -0,44   -0,04%
  • LQ45 848   -0,95   -0,11%
  • ISSI 294   0,44   0,15%
  • IDX30 442   -0,63   -0,14%
  • IDXHIDIV20 514   -0,01   0,00%
  • IDX80 131   0,01   0,01%
  • IDXV30 135   -0,15   -0,11%
  • IDXQ30 142   -0,01   -0,01%

Keterlibatan Peneliti Disabilitas Masih Minim, SAPDA Dorong Kebijakan Afirmatif


Kamis, 20 November 2025 / 15:56 WIB
Keterlibatan Peneliti Disabilitas Masih Minim, SAPDA Dorong Kebijakan Afirmatif
ILUSTRASI. Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Nurul Saadah Andriani


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - YOGYAKARTA. Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA), Nurul Saadah Andriani, menilai keterlibatan penyandang disabilitas dalam dunia riset di Indonesia masih jauh dari memadai.

Meski sejumlah kementerian dan lembaga (K/L) mulai membuka ruang untuk penelitian bertema disabilitas, Nurul menegaskan bahwa keberadaan ruang saja tidak cukup tanpa kebijakan afirmatif yang memungkinkan peneliti disabilitas berpartisipasi secara setara.

Baca Juga: Kemenkeu: Realisasi Anggaran MBG Baru 58%, Capai Rp 41,3 Triliun Per 18 November 2025

"Mereka memberikan ruang, tapi afirmasinya itu kadang-kadang belum ketemu antara kementerian dengan organisasi," kata Nurul saat ditemui Kontan.co.id di Yogyakarta, Kamis (20/11/2025).

Ia mencontohkan persyaratan pendidikan minimal S1 untuk menjadi peneliti. Meski tampak netral, aturan ini justru menghambat penyandang disabilitas yang kesulitan mengakses pendidikan tinggi akibat minimnya layanan pendidikan inklusif.

Selain itu, skema pendanaan riset juga umumnya belum memasukkan extra cost of disability, seperti kebutuhan juru bahasa isyarat, pendamping mobilitas, maupun perangkat aksesibilitas.

Baca Juga: Kemenkeu: Realisasi Belanja Barang Agak Terlambat Imbas Efisiensi di Awal Tahun

Menurut Nurul, keterlibatan perempuan dan penyandang disabilitas dalam riset sangat penting untuk meningkatkan ketepatan metodologi dan memastikan hasil penelitian relevan bagi kelompok rentan.

Banyak kebijakan dan teknologi, kata dia, gagal menjangkau kelompok marjinal karena mereka tidak dilibatkan sejak tahap perencanaan.

Ia mencontohkan penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk membaca rekam medis TBC.

Jika data disabilitas tidak terekam atau metode tidak diuji kepada kelompok rentan, hasilnya tidak akan mencakup populasi yang selama ini sulit dijangkau.

SAPDA sendiri mendorong peserta pelatihan riset untuk menghasilkan riset berbasis advokasi, bukan sekadar laporan akademis yang tebal dan sulit dicerna pembuat kebijakan.

Hasil penelitian perlu diolah menjadi policy brief, infografik, atau video singkat agar lebih mudah dipahami pengambil keputusan.

Baca Juga: Realisasi Subsidi dan Pembayaran Kompensasi Baru Rp 315 Triliun, 66,3% dari Target

SAPDA menyampaikan tiga dorongan utama kepada pemerintah untuk memperbaiki ekosistem riset disabilitas:

  1. Menerapkan kebijakan afirmatif bagi peneliti disabilitas dalam syarat pendidikan, rekrutmen, dan pendanaan.
  2. Memperkuat koordinasi lintas kementerian agar isu disabilitas tidak berjalan sendiri-sendiri.
  3. Menyediakan anggaran untuk extra cost of disability dalam setiap skema riset.

Selanjutnya: Kemenkeu: Realisasi Anggaran MBG Baru 58%, Capai Rp 41,3 Triliun Per 18 November 2025

Menarik Dibaca: 15 Daftar Buah yang Bagus untuk Diet Turun Berat Badan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×